EVA

Jangan sengaja pergi agar dicari, Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu

Rabu, 09 Desember 2020

REVIEW BUKU SEJARAH FILSAFAT BAB 1

 Saya mereviu buku yang berjudul Sejarah Filsafat (Terbitan PT. Kanisius) sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu. Semenjak blog bagian pertama ini diposting di blog, sebenarnya saya belum selesai membacanya. Saya hanya ingin menyebarkan apa yang telah saya dapatkan. Untuk selanjutnya, saya akan memosting reviu isi buku terebut per-Bab.



A.    Identitas Buku

Judul Buku      : Pengantar Filsafat 

Penyusun         : K. Bartens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua

Penerbit           : PT. Kanisius 

Tahun Tebit     : 2018 

 

Cetakan ke-     : 1

 

Jumlah hal.      : 428 halaman 

 

Reviewer         : Eva Syarifatul Jamilah

B.     Review

Reviewer memutuskan untuk membagi review per-bab. Mengapa dilakukan? Agar tidak mengalami kebingungan sehingga jelas apa yang telah dikomentari. Guna dibagi dalam per-bab agar mempermudah pembaca memahaminya. Namun, selain itu reviewer juga akan mengomentari buku secara keseluruhan di bagian akhir.

Nanti à Buku ini sangat cocok dibaca dan dipelajari oleh pembaca pemula yang tidak memiliki basic filsafat atau pembaca yang baru akan memasuki filsafat.

 

 

1.      BAB 1 (Filsafat dalam Cakrawala Humaniora)

Kees Bartens (Selanjutnya ditulis sebagai Bertens) mengawali pembahasan buku ini dengan terlebih dahulu membahas mengenai Humaniora. Humaniora di sini merujuk kepada segala ilmu yang memiliki tujuan membuat manusia lebih manusiawi, di antaranya ada ilmu filsafat, ilmu sejarah, ilmu bahasa, ilmu hukum. ilmu sastra dan ilmu seni. Beliau memaparkan isi bab pertama dengan cukup komprehensif, dibuktikan dengan bahan rujukan yang tidak hanya berisi satu atau dua rujukan tetapi lima rujukan, selain itu ada catatan diakhir bab pertama yang mendukung suatu teori.

Menurut reviewer, penulis mengawali dengan membahas dari sisi humaniora sebelum memasuki ke bab Apa itu Filsafat (Bab 2) merupakan hal baru. Biasanya para penyusun buku atau penulis langsung saja ke pembahasan mengenai Filsafat itu sendiri. Jujur saja, ini pertama kalinya bagi reviewer membaca mengenai ilmu humaniora dengan cukup radikal, cukup mendalam, karena reviewer sendiri cukup asing dengan ilmu humaniora secara keseluruhan seperti yang telah didefinisikan di atas.

Dengan sabar dan rendah hati, penulis membahas dengan memakai pisau analisis penjelasan dan penelitian sejarah. Penelitian sejarah di sini berarti mengurutkan dari yang pertama hingga masa kini. Di mulai Humaniora sebagai warisan renaisans, selanjutnya Humaniora dalam klasifikasi ilmu-ilmu, kemudian Peranan humaniora di perguruan tinggi dan manfaat yang diharapkan dan satu sub-bab khusus untuk seorang filsuf Martha Nussbaum tentang Humaniora. Tidak berlebihan, jika reviewer menilai, buku ini juga bisa dijadikan dasar atau sebuah pengantar yang bersifat dasar jika seseorang ingin mendalami ilmu humaniora dan hubungannya dengan ilmu filsafat.

Nussbaum mengkritik mengenai pendidikan, terutama pada masa kini lebih difokuskan pada teknologi dan ilmu pengetahuan, sama sekali meninggalkan ilmu Humaniora. Beliau beranggapan bahwa seharusnya prinsip pendidikan adalah non for profit, tetapi telah berubah menjadi profit lebih focus pada dua macam hal tadi. Menurut reviwer, hal ini juga erat kaitannya dengan kapitalisasi dalam pendidikan. Pada bagian akhir, paparannya lumayan lengkap dan sangat menarik untuk dipelajari lebih jauh lagi.

Kelebihan bab ini adalah bahasa yang dipakai sangat mudah sekali dimengerti, diksi nya tepat, jika penulis mengatakan suatu kutipan dalam bahasa inggris, maka akan ditulis dengan bahasa aslinya. Di sini, reviewer memuji penulis karena beliau secara tidak langsung juga ingin mengajak pembaca untuk mengecek juga sumber aslinya agar bisa belajar lebih jauh lagi. Selain itu, sekali lagi, pembaca diajarkan untuk berpikir secara runtut atau selaras.

Adapun kelemahan bab ini adalah K. Bertens tidak banyak menambahkan komentar atau argument. Hanya saja lebih menjelaskan dan memaparkan pemikiran dan gagasan tokoh yang sudah ada, seperti Martha Nussbaum, Albert Levi, C. P Snow, dlsb.

Rabu, 02 Desember 2020

Menjadi Teladan: Santri dan Kesehatan Mental di Masa Pandemi COVID-19

 

Menjadi Teladan: Santri dan Kesehatan Mental di Masa Pandemi COVID-19

Eva Syarifatul Jamilah

 

"Pondok pesantren sudah ada sejak sebelum negara Indonesia lahir. Selama itu pula ponpes sudah mewarnai dan memberikan kontribusi besar terhadap negara. Maka pada masa pandemi seperti sekarang, para santri harus menjadi garda terdepan, menjadi contoh dan teladan dalam penanganan COVID-19…. ”Ungkap Taj Yasin dalam Webinar dengan tema "Peran Pesantren di Masa New Normal" yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purworejo.

 

Sebagai perempuan yang tidak asing dengan kehidupan pesantren dan sudah lama mengecap menjadi seorang santri, rasanya setuju dengan perkataan dari Gus Yasin di atas yang menyatakan bahwa santri harus menjadi garda terdepan dan menjadi teladan untuk diterapkan pada masa Pandemi COVID-19 ini. Jika ditarik pada masa Pandemi begini, untuk menjadi teladan sebenarnya tidak mudah. Untuk menjadi seorang teladan, dirinya perlu sehat secara fisik dan mental.

Santri, sebagai salah satu ciri utama dari pesantren juga terkena dampak wabah pandemi COVID-19. Dengan banyaknya perubahan yang terjadi dengan cepat selama wabah pandemi COVID-19 ini, disadari atau tidak, santri rentan terkena beberapa gejala penyakit mental. Penulis mengingatkan bahwa penyakit mental di sini bukan berarti gila. Penyakit mental dipahami sebagai sebuah gangguan, baik level rendah maupun berat, terhadap cara seseorang berpikir, beraktivitas, melakukan sesuatu atau cara pandang seseorang terhadap oranglain dan kejadian dalam hidupnya.

Penyakit ini bisa ditangani dengan bantuan psikiater dan/atau psikolog. Masalah kesehatan ini bisa sangat mengganggu dan memengaruhi seseorang dalam menjalani kehidupannya. Tak jarang membuat sengsara dan merasa tidak berharga.

Penyakit mental memiliki beberapa jenis; 1). Gangguang kecemasan, 2). Gangguan suasana hati, 3). Gangguan psikotik, 4). Gangguan makan, 5). Kontrol impuls dan gangguan kecanduan, 6). Gangguan Kepribadian, 7). Obsessive-Compulsive Disorder, dan 8). Post-Traumatic Stress Disorder. Contoh dari gejala penyakit mental adalah merasa sedih dengan berkala. bingung dan sulit berkonsentrasi, memiliki ketakutan yang berlebihan, perubahan perasaan yang ekstrem, sering mengalami kelelahan dan tidak jarang mengalami penyakit fisik, mengalami delusi dan/atau halusinasi, kemarahan yang sering tidak terkontrol, pemikiran untuk bunuh diri, dlsb. Mental santri yang sehat tidak akan mudah terkena oleh Stressor (penyebab terjadinya stress).

Kesehatan mental yang baik adalah ketika hati dan/atau batin seseorang dalam keadaan tenang, damai dan aman. Dengan keadaan hati/batin seorang santri yang seperti ini, bisa dipastikan dirinya akan menjalani kehidupan dengan semangat dan menghargai dirinya dan orang lain. Selain itu, dia akan menjalani hidup dengan penuh kesyukuran terhadap Allah swt dan siap menjalani hidup ke depannya. Ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut: 1). Memiliki attitude yang baik terhadap dirinya sendiri, 2). Persepsi yang dimilikinya bersifat objektif pada realitas, 3). Mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, 4). Aktualisasi diri.

Mengamalkan ajaran agama Islam dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari bisa memberikan dampak yang sangat besar terhadap kesehatan mental seorang santri. Kesehatan jiwa juga dipengaruhi oleh kesehatan mental. Dengan mental yang sehat, santri bisa menjalani kehidupan di pesantren dengan penuh sabar, semangat, rasa syukur dan penuh dengan keberkahan dari Kyai.. Santri akan merasakan kebahagiaan dan merasa aman dalam kondisi apapun, termasuk dalam keadaan di tengah wabah pandemi COVID-19. Sehingga dirinya bisa menjadi contoh atau teladan yang baik. Mengenai Sabar Allah swt berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Kahfi/18: 28.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan di dunia ini: dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaan yang melewati batas”

 

Pengertian sabar secara istilah dalam Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan al-Hadith (Jilid 6) yaitu mampu menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Selain sabar, dalam masa wabah COVID-19 ini seorang santri harus senantiasa bersyukur kepada Allah swt atas segala hal yang menimpanya, dengan begitu dia akan merasakan ketenangan dalam dirinya. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an Surat Ibrahim/4: 7.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

 

Para ulama mendefinisikan rasa syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala yang dianugerahkan Allah swt, sesuai dengan tujuan penciptaan anugerah itu sendiri. Syukur ada tiga macam, syukur i’tiqadi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur qauli (bersyukur dalam bentuk perkataan) dan syukur ‘amali (bersyukur dalam bentuk perbuatan atau perilaku).

Berbanding terbalik dengan santri yang kurang sehat mentalnya. Dia akan cenderung murung, emosinya sering tidak stabil dan tidak bersemangat. Beberapa hal ini bisa menyebabkan terhambatnya kehidupan dirinya di pesantren, termasuk juga dirinya tidak mengamalkan akhlak seorang santri yaitu harus bersikap sabar dan penuh rasa syukur kepada Allah swt. hingga menghambatnya menjadi teladan yang baik.

Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa kesehatan mental bisa dijaga dengan selalu bersabar, tetap berusaha, berbaik sangka, dan bersyukur atas apa yang Allah swt berikan, dalam hal ini seorang santri yang mana sedang mencari ilmu. Penulis merasa bahwa hal-hal baik tersebut bisa dijadikan sebagai contoh teladan seorang Santri ketika berada di masa-masa sulit penuh dengan ujian seperti saat ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan kekuatan untuk survive pada situasi apapun, termasuk di masa wabah COVID-19 ini.

 

Referensi

Peran Penting Santri di Tengah Pandemi (https://humas.jatengprov.go.id/detail_berita_gubernur?id=4453)

Isti Ramadhani. “Mental Illness: Definisi, Gangguan Umum, Tanda-tanda Awal. dan Cara Menanganinya.” (n.d.).

Muhammad Hasan Ansori. “Wabah COVID-19 dan Kelas Sosial di Indonesia.” The Habibie Center 14 (April 6, 2020). http://habibiecenter.or.id/img/publication/09da4f0fd333100e97d2b2bc1aec3163.pdf.

Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. 8 Revision. Jakarta: LP3ES, 2011.

“COVID-19: Kumpulan Artikel Ilmiah | Cochrane Indonesia.” Accessed October 10, 2020. https://indonesia.cochrane.org/news/covid-19-kumpulan-artikel-ilmiah.

“Pengertian Kesehatan Mental.” Accessed October 10, 2020. https://promkes.kemkes.go.id/pengertian-kesehatan-mental.

“Penyakit Mental : Gejala, Penyebab, Dan Pengobatan | Hello Sehat.” Accessed October 10, 2020. https://hellosehat.com/kesehatan/penyakit/penyakit-mental/.