Konsep Pencarian Kebenaran Oleh Pemikir Rasionalisme
Pendahuluan
Belajar Filsafat memiliki kesamaan dengan berpariwisata.[1] Wisatawan yang bosan dengan rutinitas sehari-hari ketika menemukan pemandangan alam, dirinya akan menemukan banyak hal baru yang akan menyegarkan dirinya. Jika ditarik atau dihubungkan dengan belajar filsafat, bedanya wisatawan tersebut merasa segar ketika menemukan pemikiran-pemikiran dan dunia gagasan baru. Dengan memelajari Filsafat, kita akan bersua dengan banyak ide yang belum pernah kita pikirkan sama sekali.
Perjalanan Filsafat hingga masa kini telah mengalami kemajuan dan kemunduran. Dari mulai Zaman kuno Yunani dan Romawi, Abad Pertengahan, hingga Masa modern. Pada awal Abad Pertengahan, dunia Barat atau Eropa dikuasai oleh dogma keagamaan dari Gereja Katholik. [2] Dogma keagamaan begitu dominan hingga memengaruhi seluruh aspek kehidupan, baik dalam tatanan sosial, budaya, politik, hukum, dan ekonomi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat berjalan di tempat. Buku-buku peninggalan Yunani dan Romawi kuno sulit ditemukan.
Lebih lanjut, Abdul Rahman mengemukakan bahwa kebangkitan Eropa (Renaissance) dimulai dari ide-ide brilian Francesco Petrarch (1304-1374). Seorang pemikir humanis yang menyukai karya sastra dan moralis yang berasal dari Italia. Pemikirannya mempengaruhi pemikir di era selanjutnya, seperti Copernicus, Kepler dan Galileo. Keinginan kuat Petrarch adalah membebaskan manusia dari pemikiran kaum skolastik yang ia anggap mengekang potensi-potensi manusia untuk berkembang serta menurutnya Dogma Agama sebaiknya hanya bersifat individual saja.[3] Dari sini, perubahan pun terjadi sedikit demi sedikit.
Renassaince akrab dikenal sebagai masa pencerahan, yaitu suatu masa di mana menganggap lebih penting mengedepankan rasio untuk mendapatkan kebenaran. Pada masa ini, hal-hal yang lebih mengedepankan emosionalitas dan pengalaman indrawi tidak banyak mendapatkan perhatian lagi dibanding masa-masa sebelumnya. Puncaknya terjadi antara pada abad ke-16 dan 19 muncul beberapa pemikiran mengenai philosophy of science.[4] Dari sini muncul beberapa aliran yang begitu terkenal hingga masa kini, yaitu Rasionalisme, Empirisme dan Positivisme Kritisisme, Idealisme, Naturalisme, Materialisme, Intusionalisme, Fenomenalisme dan Sekularisme.[5] Pada kesempatan kali ini, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai pemikir Rasionalisme mengenai kebenaran, karena menurut penulis aliran ini sangat memengaruhi ilmu pengetahuan yang membentuk masyarakat modern.
Kerangka Teori
Para mahasiswa yang mengambil mata kuliah atau jurusan Filsafat pasti tidak asing dengan anggapan bahwa Rasionalisme bertolak dari rasio dan berpendapat bahwa setiap pengetahuan yang berharga berasal dari rasio. Agus Abdul Rahman berpandangan bahwa Rasionalisme merupakan kebalikan dari Empirisme.[6] Rasionalisme menentang pandangan Empirisme yang menyatakan bahwa pengalaman indrawi merupakan satu-satunya sumber yang bisa dipercaya. Rasionalisme memiliki gagasan tersendiri bahwa rasio merupakan satu-satunya sumber yang bisa dipercaya. Menurut pandangan Rasionalisme, aliran Empirisme mengalami kekeliruan yang disebabkan oleh kelemahan indra dan bisa saja dibetulkan jika akal digunakan.
Sebenarnya Rasionalisme tidak menghilangkan peran indra dalam memperoleh suatu pengetahuan. Hanya saja, guna indra di sini adalah untuk merangsang akal dan memberikan subjek yang menyebabkan akal mampu beraksi. Bedanya, akal mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak berpatokan pada subjek indra. Singkatnya, akal mampu mewujudkan pengetahuan mengenai objek yang benar-benar abstrak.[7] Dengan pemikiran yang seperti itu, kita mudah mengambil contoh bahwa manusia bisa memaksimalkan akal untuk menemukan jawaban atas segala masalah yang dihadapinya termasuk mencari kebenaran.
Seorang pelopor aliran Rasionalisme, Rene Descartes, menolak gagasan mengenai pengalaman indrawi adalah sumber hakiki pengetahuan manusia. Sudah pasti berbanding terbalik dengan aliran Empirisme. Descartes menentang gagasan Francis Bacon dan Thomas Hobbes yang merupakan pelopor aliran Empirisme.
Menurut pandangannya, adanya akal dalam pencarian kebenaran adalah hal penting yang perlu diungkap.[8] Dengan lantang dia mengungkapkan keraguannya terhadap segala hal yang mampu dilihat oleh indra manusia. Oleh karena itu, dirinya mulai meragukan (skeptis) terhadap segala hal (yang pastinya berhubungan dengan indra manusia). Seperti ketika seseorang bermimpi mengenai suatu hal dan menganggap bahwa hanya merupakan bentuk mimpi, alih-alih apa yang dimimpinya benar terjadi. Adapun yang ditawarkan Descartes untuk mencapai kebenaran adalah memakai pisau analisis metode matematika dan tidak mengherankan karena beliau merupakan seorang Ahli Matematika. Jika ditelisik lebih dalam, metode matematika memiliki arti membuktikan sesuatu dengan menggunakan akal dan memiliki dua cara pembuktian yaitu intuisi dan deduksi.
Descartes khusus menyusun karya mengenai pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan yang berjudul A Discourse on Methode yang perlu memerhatikan empat hal: [9] 1. Bisa disebut kebenaran ketika telah benar-benar indrawi dan realitasnya jelas dan tegas sehingga tidak akan muncul keraguan sedikit pun yang bisa menggagalkannya, 2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau problem sebanyak-banyaknya, sampai tiada satu keraguan yang mampu menggagalkannya, 3. Identifikasi semua kemungkinan dari satu masalah, 4. Setiap melakukan pencarian, harus membuat perhitungan yang sempurna serta pertimbangan yang menyeluruh sehingga memperoleh keyakinan tak akan ada yang mampu mengabaikannya.
Teori Kebenaran yang dipahami Descartes ini menekankan mengenai pentingnya penegasan dan konfirmasi terhadap suatu fakta. Sesuatu tersebut bisa dikatakan benar jika memang nyatanya benar. Apabila sesuatu tidak bisa dibuktikan secara nyata maka sesuatu tersebut bisa dikatakan salah. [10] Oleh karena itu, runtutan fakta sangat ditekankan di sini.
Lebih lanjut, inti keseluruhan pemikirannya adalah slogan yang begitu masyhur, Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka Aku ada). Menurutnya, sesuatu eksis apabila secara subjektif memang benar ada. Dirinya bertanya mengenai Mengapa kebenaran itu bersifat begitu pasti? Tetapi kemudian menjawab, karena dirinya mengerti hal itu dengan sangat jelas dan terpilah-pilih.[11] Pengertian Jelas adalah tidak perlu dipertanyakan kembali dan mampu menjelaskan dirinya secara mandiri. Terpilah-pilih di sini memiliki suatu ide terpisah dari ide lainnya. Oleh karena nya, Descartes mengemukakan suatu kriteria kebenaran adalah ketika saya mampu memahaminya dengan jelas dan terpilah-pilih
Tokoh Rasionalisme lain yang melanjutkan pemikiran Descartes adalah Baruch De Spinoza (1632-1677). Seperti Descartes, metode Matematika adalah metode yang dipakai olehnya sebagai pisau bedah suatu permasalahan.[12] Jika Descartes memegang konsep Cogito dalam hidupnya, lain lagi dengan Spinoza yang memegang konsep substansi. Menurutnya suatu ide tidak mungkin tanpa konsep substansi serta merupakan suatu yang ada dan dipahami pada dirinya sendiri.[13]
Spinoza berpendapat hanya ada satu substansi, yaitu Allah. Satu substansi ini meliputi keseluruhan (baik manusia maupun dunia). Hakikat dari substansi ini adalah segala sesuatu tampak individual.[14] Dengan pemikiran mengenai subtansi ini, pandangan Spinoza terkenal dengan istilah Panteisme,[15] Allah disamakan dengan segala hal yang ada. Lebih lanjut, Spinoza menunjukkan pemahamannya sebagai rasionalis dengan memaparkan tiga kategori pengetahuan, kategori persepsi indrawi atau imajinasi, kategori refleksi yang focus pada prinsip-prinsip dan kategori intuisi. Menurutnya, yang disebut pengetahuan sejati adalah hanya pada kategori kedua dan ketiga.
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dari Jerman banyak membicarakan substansi. Menurutnya, Subtansi tidak terbatas dan menamakannya dengan Monade. Monos berarti satu sedangkan Monad berarti satu unit. Monade bukan bersifat jasmani dan tidak bisa dibagi. Leibniz memaparkan contoh Jiwa. Jiwa merupakan satu Monade tetapi di satu sisi juga merupakan kumpulan materi yang terdiri dari banyak Monade.[16] Monade di sini memiliki kesamaan konsep seperti Coguto nya Descartes yang cenderung tertutup.
Leibniz mengungkapkan bahwa antara satu Monade dengan Monade yang lain berbeda. Tuhan merupakan Supermonad yang berarti Dia satu-satunya Monade yang tidak dicipta karena merupakan pencipta dari seluruh Monade-monade tersebut. Pada bagian ini, Bertens menjelaskan dengan gambling mengenai Bagaimana Jiwa (suatu Monade) dapat bekerja sama dengan tubuh (terdiri dari banyak Monade) dan sebaliknya? Jawabannya adalah karena kuasa dari Supermonade yaitu Tuhan mengadakan suatu keselarasan yang ditentukan sebelumnya.[17]
Satu tokoh lagi yang akan sedikit penulis bahas kali ini, yaitu Christian Wolff (1679-1754). Bertens mengungkapkan bahwa karena peran dan pengaruh Wolff, rasionalisme menjadi begitu dominan di Jerman pada masa itu.[18] Wolff merupakan tokoh yang mengolah dan mengembangkan pemikiran Leibniz menjadi suatu sistem dan menerapkannya terhadap segala bidang ilmu pengetahuan. Meskipun dalam penyusunannya banyak menggunakan unsur skolastik.
Pandangan atau argumentasi pribadi
Menarik sekali ketika membicarakan mengenai salah satu aliran epistemology yang terkenal ini, Rasionalisme. Penulis selalu ingat perkataan seorang teman yang mengatakan bahwa penulis cenderung lebih berat pada rasio. Setelah penulis membaca meskipun tidak begitu mendalam mengenai aliran Rasionalisme ini, penulis merasa bukan bagian dari penganut aliran ini. Banyak sekali perbedaan antara teori-teori yang telah dikembangkan oleh Descartes, Spinoza, Leibniz dan Wolff dengan apa yang penulis rasakan. Meskipun pada bagian ini, penulis tidak akan memaparkan mengenai perbedaannya.
Dari beberapa literatur yang telah penulis baca, penulis setuju dengan gagasan yang menyatakan tanpa rasio maka mustahil manusia tersebut memperoleh pengetahuan. Karena rasio merupakan berpikir, berpikir ini selanjutnya akan membentuk suatu pengetahuan. Sudah tentu, manusia memiliki peran sebagai bagian dari masyarakat, oleh karenanya manusia ini akan saling membagi pengetahuan tersebut. Selanjutnya bisa dipahami, semakin banyak yang berpikir maka semakin banyak juga yang akan saling membagi pengetahuan. Berdasarkan pengetahuan ini pula, manusia berperilaku dan memilih tindakannya. Dengan dasar ini, muncul lah berbagai jenis perbedaan perilaku, perbedaan dan tindakan manusia yang dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah didapatinya.
Jika ditarik pada masa kini, rasio tidak bisa berdiri sendiri. Untuk berpegang teguh pada Rasio di masa Post-Truth sekarang agaknya cukup sulit dan rumit karena pastinya pengalaman seseorang akan memengaruhi persepsi yang dibangun secara tidak sadar oleh dirinya sendiri. Banyaknya informasi yang diperoleh oleh seseorang pastinya memengaruhi bagaimana dirinya berpikir. Oleh karenanya, rasio juga membutuhkan kenyataan yang tampak. Penulis meyakini bahwa semakin sering rasio diasah dengan berhubungan langsung dengan kenyataan yang tampak atau realitas, maka semakin dekat pula pada suatu hal yang disebut dengan kebenaran.
Satu permasalahan lagi yang ingin penulis kaji lebih mendalam, yaitu penulis khususkan pada Descartes dengan konsep Cogito Ergo Sum nya. Merujuk pada Budi Hardiman ketika membahas Hermeneutika Paul Ricoeur yang menyatakan bahwa kesadaran yang ditemukan oleh Descartes (Cogito) ini cenderung memisahkan aktivitas berpikir dari tubuh.[19] Tubuh dilihat dari luar, yaitu dari pikiran murni. Lebih lanjut, karena melihat dari luar tubuh, cogito atau kesadaran murni ini bentuknya transedental dan melihat peristiwa-peristiwa seolah dari luar sejarah. Dari ini bisa dipahami, manusia selain makhluk berpikir, juga makhluk bertubuh dan mendunia. Oleh karena itu, kehendak manusia diwarnai oleh tegangan antara kebebasan dan keniscayaan. Maka “aku berpikir” bukan hanya “aku sedang berpikir” tetapi juga “aku hendak berpikir”.
Kesimpulan
Dalam mencari kebenaran, para tokoh Rasionalisme menekankan pada eksplorasi akal sebagai subjek yang sangat luar biasa. Ide-idenya sangat menarik jika dipelajari secara mendalam. Slogan-slogan menarik yang dipaparkan atau dicetuskan oleh tokoh-tokoh yang bersangkutan, seperti Cogito Ergo Sum, Substansi dan Monade menurut penulis merupakan suatu terobosan penting dalam kelanjutan ilmu pengetahuan tidak hanya dalam ranah filsafat tentunya, hingga masa kini. Hanya saja, kita sebagai mahasiswa tidak serta merta hanya melihat dari satu aliran epistemology saja, tetapi harus meintegrasikannya dengan aliran epistemology lain yang akan turut membantu mengungkap suatu cara untuk menemukan kebenaran yang hakiki.
Referensi
Budi Hardiman, F. Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche : suatu pengantar dengan teks dan gambar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Dr. Agus Abdul Rahman, M. Psi., Psikolog. Sejarah Psikologi Dari Klasik Hingga Modern. 1st ed. Kota Depok: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2019.
F. Budi Hardiman. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. 8th ed. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
H. Muhammad Bahar Akkase Teng. “Rasionalis Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah.” Jurnal Ilmu Budaya 4, no. 2. Desember (2016). https://journal.unhas.ac.id/index.php/jib/article/view/2348.
K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua. Pengantar Filsafat. 2nd ed. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2019.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran filsafat & etika. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Riyadi, Agus, and Helena Vidya Sukma. “KONSEP RASIONALISME RENE DESCARTES DAN RELEVASINYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAKWAH.” An-Nida : Jurnal Komunikasi Islam 11, no. 2 (December 27, 2019). Accessed November 27, 2020. https://ejournal.unisnu.ac.id/JKIN/article/view/1026.
Setia Budhi Wilardjo. “Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu Berkait Dengan Ekonomi.” Jurnal Unimus (n.d.). http://jurnal.unimus.ac.id.
[1] K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua, Pengantar Filsafat, 2nd ed. (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2019). hlm. iii
[2] Dr. Agus Abdul Rahman, M. Psi., Psikolog, Sejarah Psikologi Dari Klasik Hingga Modern, 1st ed. (Kota Depok: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2019). hlm. 83
[3] Ibid. hlm. 87
[4] Ibid. hlm. 90
[5] Juhaya S Praja, Aliran-aliran filsafat & etika (Jakarta: Prenada Media, 2005). hlm. 91
[6] Dr. Agus Abdul Rahman, M. Psi., Psikolog, Sejarah Psikologi Dari Klasik Hingga Modern. hlm. 99
[7] Setia Budhi Wilardjo, “Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu Berkait Dengan Ekonomi,” Jurnal Unimus (n.d.), http://jurnal.unimus.ac.id. hlm. 4
[8] Agus Riyadi and Helena Vidya Sukma, “KONSEP RASIONALISME RENE DESCARTES DAN RELEVASINYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAKWAH,” An-Nida : Jurnal Komunikasi Islam 11, no. 2 (December 27, 2019), accessed November 27, 2020, https://ejournal.unisnu.ac.id/JKIN/article/view/1026.
[9] Praja, Aliran-aliran filsafat & etika. hlm. 65
[10] Riyadi and Sukma, “KONSEP RASIONALISME RENE DESCARTES DAN RELEVASINYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAKWAH.” hlm. 117
[11] K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua, Pengantar Filsafat. hlm. 111
[12] Ibid. hlm. 112
[13] H. Muhammad Bahar Akkase Teng, “Rasionalis Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah,” Jurnal Ilmu Budaya 4, no. 2, Desember (2016), https://journal.unhas.ac.id/index.php/jib/article/view/2348. hlm. 20
[14] F Budi Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche : suatu pengantar dengan teks dan gambar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004). hlm. 47
[15] K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua, Pengantar Filsafat. hlm. 112
[16] H. Muhammad Bahar Akkase Teng, “Rasionalis Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah.” hlm. 20
[17] K. Bertens, Johanis Ohoitimur, and Mikhael Dua, Pengantar Filsafat.
[18] Ibid. hlm. 113
[19] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, 8th ed. (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015). hlm. 240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar