EVA

Jangan sengaja pergi agar dicari, Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu

Senin, 12 Juli 2021

Resensi Buku: Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia (Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan), Dr. Aksin Wijaya



Judul Buku

: Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia (Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan)

Penulis

: Dr. Aksin Wijaya

Penerbit

: Mizan

Tahun Terbit

: 2018

Jumlah Halaman

: xxx + 262 hlm

ISBN

: 978-602-441-067-4

 

Pertama kali melihat judul buku ini, seketika terbesit bahwa buku ini bisa jadi merupakan sebuah respons dari kekerasan oleh suatu golongan terhadap individu atau pun golongan lain. Baik berupa kekerasan verbal mau pun non verbal. Ternyata, pengetahuan yang saya dapatkan setelah menamatkan lebih dari apa yang saya telah ekspektasikan. Karena dengan begitu rendah hati, teliti dan cermat, penulis memaparkan akar-akar kekerasan yang terjadi di masa kiwari yang nyatanya begitu kompleks.

Sebenarnya, saya sendiri tidak begitu asing dengan penulis buku, Dr. Aksin Wijaya. Karena tentunya saya pernah membaca buku-buku beliau yang lain dan menjadikannya rujukan dalam tulisan saya. Selain tentunya pemikiran beliau pernah dibahas di forum di kelas. Hanya saja, buku ini termasuk golongan baru saya baca.

Buku ini terdiri dari 9 (Sembilan) Bab termasuk catatan penutup. Disertai dengan beberapa sambutan yang saya anggap sebagai pengantar atau gambaran awal tulisan yang akan saya baca. Saya tidak pernah berpikir akan sangat asyik dan begitu larut dalam pembahasan buku ini, mengingat tema nya cukup berat dan menantang.

Mula-mula mengajak pembaca untuk menyelami genealogi gerakan Islam kontemporer yang tentunya sangat berhubungan dengan apa yang telah terjadi di masa lalu dan pengaruhnya dalam bentuk kekerasan, baik kekerasan wacana yang kemudian berubah bentuk menjadi kekerasan fisik di masa ini. Adapun yang menjadi titik awal dari gerakan-gerakan serta para tokoh yang akan dibahas adalah peristiwa Tahkim.

Dengan analisis yang begitu kuat, penulis membagi akibat dari peristiwa Tahkim Ali bin Abi Thalib menjadi tiga yang kemudian di masa depan tiga golongan ini membentuk sebuah ideologi transnasional besar, yaitu Islam Khawariji-Wahhabi, Islam Islamisme dan Islam Pluralis. Tidak akan lengkap rasanya jika membahas suatu gerakan transnasional tanpa mengikutsertakan membahas tokoh yang menggagas dan kembali mengadopsinya. Agar tentunya pembaca mengetahui dan kemudian memahami pemikiran-pemikiran tersebut berasal.

Saya sempat berhenti membaca sejenak untuk berpikir mengenai respons pembaca ketika membaca buku ini. Apakah akan terkejut? Merasa terkutili? Merasa tidak terima? Atau bahkan sebaliknya yaitu cenderung semakin penasaran?. Karena begitu tiada ampun membeberkan fakta yang mengandung keironian.

Sebelum memaparkan sedikit garis besar buku ini, saya rasa perlu mengawalinya dengan poin-poin penting yang akan penulis bahas, yaitu mengenai perbedaan pemaknaan dan interpretasi tiga golongan besar serta para tokohnya yang telah dipaparkan di atas mengenai Nalar Islam, al-Hakimiyyah al-Ilahiyah ke al-Hakimiyyah al-Basyariyah dan Jihad Fi Sabilillah. Lagi, pembaca akan merasakan keluasan wawasan penulis selain mendapatkan titik terang perbedaan pemikiran tersebut yang memiliki pengaruh besar di masa kini.

Penulis menjelaskan bahwa Islam Khawariji-Wahhabi adalah buah pemikiran Abdul Wahhab yang merupakan seorang tokoh agama dari Arab Saudi. Dalam bab ini, penulis dengan sabar menjelaskan sanad keilmuan Abdul Wahhab yang kemudian membentuk pola pemikiran nya tersebut. Dengan penelusuran yang disajikan, pembaca akan memahami mengapa pemikiran Abdul Wahhab tergolong pada pemikiran yang kaku, intoleran dan keras. Dengan ciri-ciri pemikiran nya ini, sayang nya kekerasan atas nama Agama semacam diberikan legalitas dan lebih parah sebuah keharusan. Bahkan jika tidak dilakukan, kita bisa jadi termasuk ke dalam golongan yang berlawanan dan boleh diperangi secara langsung.

Kebencian yang begitu melekat pada sebagian umat yang melakukan hal-hal yang mereka klaim bid’ah. Rasanya tak asing lagi ketika terjadi penggusuran atau penolakan satu rumah ibadah dikarenakan tidak sejalan dengan apa yang mereka yakini. Hingga penghancuran situs-situs keagamaan yang dianggap musyrik Tiga contoh tersebut merupakan bentuk perwujudan dari kekerasan wacana yang melahirkan kekerasan fisik.

Pada golongan kedua, Islam Islamisme. Penulis membahas pemikiran dua tokoh, al-Maududi dan Sayyid Qutb. Saya merasa memang ada perbedaan dari golongan pertama dan golongan kedua ini, meskipun golongan kedua mengklaim “thaghut” pada umat yang tidak sesuai atau tidak sama dengan ajaran mereka. Dari kata “thaghut” ini sendiri merupakan klaim yang begitu berbahaya karena kemudian bisa menimbulkan kekerasan fisik ke umat yang tidak sejalan dengan golongan nya.

Dan yang terakhir merupakan golongan Islam Pluralis. Ketika membahas mengenai golongan ini, penulis menjelaskan mengenai tiga tokoh besar Islam yang juga pemikiran nya begitu berpengaruh, Asymawi, Haj Hammad dan Syahrur. Jika ditelusuri, pemikiran tiga tokoh ini begitu berbeda dengan dua golongan sebelumnya. Menurut saya, sudah pas disimpan pada bagian golongan terakhir dengan kuantitas tokoh yang dibahas lebih banyak, agar pembaca mendapatkan secam antitesa dari dua golongan keras sebelumnya.

Pembahasan buku ini bagi sebagian orang mungkin dianggap cukup berat dan/atau bahkan berat. Namun, saya rasa, untuk mengetahui suatu permasalahan yang timbul dan begitu kompleks di masa kini, apalagi yang berhubungan dengan kekerasan wacana dan fisik dalam keagamaan, lebih khusus lagi dalam Islam, memang perlu ditelusuri akar-akar nya secara mendalam. Baik dari nalar para tokoh yang menggagas, kepentingan-kepentingan nya, hingga sangkut pautnya dengan pertarungan politik dan kekuasaan.

Hal lain yang saya sukai dari buku ini adalah penulis tetap menghubungkan dan berpijak pada kaidah Ush al-Fiqh tetapi juga menintegrasikan nya dengan teori-teori filsafat postmodernism. Saya pikir itu merupakan hal yang luar biasa.

REFLEKSI BELAJAR MAQASHID UNTUK KELUARGA ISLAM KONTEMPORER

Sebagai perempuan, anak sulung, mahasiswi, kakak, rasanya belajar maqashid yang diadakan oleh UII dalam program SEKOLA 2021 merupakan suatu hal yang sangat harus disyukuri. Banyak ilmu dan pengetahuan yang benar-benar baru yang saya dapatkan dan semoga juga bisa bermanfaat dan teraplikasikan dengan baik di kehidupan sehari-hari. Mengapa mula-mula saya mengawali dengan menyebutkan sebagian identitas saya di atas untuk pembuka? Karena saya akan mencoba berefleksi dari keempat identitas yang saya sebutkan di atas.

Sebagai perempuan, yang dikemudian hari saya ingin menjadi ibu dan orangtua. Belajar Maqashid saya pikir sebagai dasar atau pengantar yang begitu amat penting. Karena darinya, banyak hal akan dijalankan di kehidupan sehari-hari. Dengan mengetahui Maqashid, yang saya baru tahu ternyata termaktub dengan begitu sangat jelas dalam al-Quran, akan memudahkan seseorang menjalankan agamanya agar selalu selaras dengan kebutuhan yang datang di masa depan. Karena tentunya, pada masa depan, kehidupan tidak akan sama dengan masa sekarang. Namun, Maqashid di sini bisa dijadikan pegangan atau pedoman yang kokoh dan pastinya berguna bagi siapa pun yang mempelajarinya.

Sebagai anak sulung, saya juga secara tidak langsung belajar meniru dari orangtua saya yang akan saya terapkan juga di kehidupan saya kelak. Hanya saja, terkadang tidak semuanya masuk ke dalam koridor agama Islam yang benar, baik dan sesuai. Oleh karena itu, dengan belajar Maqashid ini akan sangat bermanfaat bagi kehidupan saya.

Sebagai mahasiswi, sudah tentu saya akan mendapatkan pengetahuan baru yang pastinya berguna untuk saya sehari-hari dan study saya. Secara halusnya, saya dengan kesempatan berharga ini bisa sedikit lebih mengetahui dibandingkan teman-teman saya yang lain. Bukan bermaksud sombong, tetapi benar adanya jika kita hanya belajar dari teori-teori barat yang cenderung positivistik dan tidak mengindahkan firman Allah sama sekali.

Untuk Maqashid sendiri, sebenarnya saya tidak terlalu asing dan pernah mengetahui sedikit karena pernah belajar Ushul Fiqh dan pernah belajar mengenai Maqashid al-Syariah. Hanya saja, tentunya pada SEKOLA 2021 dibahas lebih spesifik dan pengetahuannya menjadi lebih real. Ustad Ali menjelaskan dengan sangat sabar sekali. Apa yang beliau sampaikan dalam pengantar sangat bagus, dan meskipun saya agak sedikit kesulitan, karena bedanya pengetahuan saya dan beliau, tetapi saya akan berusaha membaca dan menyimak dengan sebaik mungkin. Terima kasih banyak. Rasanya sangat senang sekalu.