EVA

Jangan sengaja pergi agar dicari, Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu

Senin, 24 Juli 2017

SHOLAT MENURUT SYEIKH SITI JENAR

Ngaji Filsafat, Rabu 10 Mei 2017
Syeikh Siti Jenar: Sholat.
            (Pak Fahruddin Faiz) selanjutnya aku panggil ‘Bapak’ ngajak narget buat ntar bulan puasa yang tinggal menghitung hari lagi. Narget banyak hal, per-Rajin lagi ngaji Qur’an, pokoknya harus bisa minimal tamat sebulan 2 kali atau bahkan harus lebih dari itu. Narget puasanya tidak hanya lahir saja, tapi juga bathin. Termasuk: kita tu sebenarnya tahu banyak hal bahkan sampai hafal banget, tapi jarang sekali sadar. Sadar itu ya, yang memerintah kan itu hatimu, bukan paksaan orang atau kehendak orang. Kalo misal nanti puasa dan sholatmu malah membebanimu, maka sebenarnya kamu belum sadar akan puasa dan sholat itu.
            Bapak bilang: Sudah betul memang kita harus menjalankan syariat lahir, sholat jungkir balik 5 rakaat, puasa senin-kamis-ayyamul biid-bahkan puasa wajib ramadhan, zakat, dan menunaikan haji. Tapi yang bathin juga jangan sampai dilupakan, jangan sampai ditinggalkan.
            Bagaimana bisa syariat lahir itu malah bisa menjauhkan mu dari Allah? Dengan niat hajimu yang hanya ingin ‘gelar’ setelah pulang haji saja contohnya. Kamu begitu bangga dengan gelar ‘kehajian’mu itu atau bahkan bulak-balik berangkat ibadah haji tiap tahun, tapi kamu tidak menemukan kesadaran dan kekhusyuk’an beribadah.
            Atau dengan Sholat contohnya. Kenapa kamu tidak mendapatkan kekhyusuk’an saat melaksanakan sholat? Jawabannya karena keseluruhan dirimu masih sangat keterkaitan dengan materi, dengan duniawi, yang sifatnya hanya sementara dan sebenarnya tidak nyata. Dunia mu itu hanya titipan dan amanah Allah bagimu.
            Bapak berkata: karena yang hilang dari terlalu fokus pada syariat lahir adalah Allah. Nanti tujuanmu bukan Allah, tapi surga. Padahal surga itu adalah makhluk Allah juga, sama seperti kita, manusia, sang makhluk Allah yang dimuliakan oleh-Nya dan diberi mandat untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini.
            Surga dan Neraka itu sejatinya bukan tujuan. Yang menjadi tujuan seharusnya hanya Allah saja. Surga dan Neraka letaknya pada masing-masing. Orang bergelimang harta, hidupnya selalu merasa terancam oleh para pesaing bisnisnya, tidur tak nyenyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersandar dihalaman rumah sambil memandang hamparan sawah hijau, hatinya sesejuk udaranya, dan tenang jiwanya, maka itulah Surga. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga mana neraka. (Syeikh Siti Jenar).
            Satu lagi, Puasa. Puasa yang hakiki, yaitu puasa menahan hati dari menyembah, memuji, memuja, dan mencari ghoiru-Allah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara menahan mata hati dari memandang Ghoiru-Allah, baik yang bathin maupun yang lahir. Yang lahir, sangat jelas jika engkau mengkultuskan manusia. Membela mati-matian orang itu. Karena kata Gus Dur: tidak ada jabatan di dunia ini yang harus kau pertahankan mati-matian. Semuanya akan diambil lagi, bakal hilang dari genggamanmu. Dan kamu tidak akan punya apa-apa lagi. Nah yang bathin, kamu sangat percaya pada akalmu sama sekali dan menghilangkan peran Tuhan dalam dirimu. Padahal sejatinya lahir-bathin/panca indera-akal sering menipu. Sering keliru. Hanya mengenal alam materi saja. Pakailah pemberian-pemberian Allah yang lain lagi, nurani dan intuisi contohnya.
            Puasa merupakan tindakan rohani yang mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme dan keinginan yang hanya untuk diri sendiri. Jika kamu benar-benar ber-Puasa sesuai dengan konsep di atas. Maka tujuanmu adalah bertemu dengan Tuhanmu, yaitu Allah. Tidak akan ada pamrih-pamrih lagi, tidak akan ada dagang lagi sama Allah, tidak akan ada lagi keinginanmu untuk mendapatkan surga.
            Kamu sering berpuasa hanya untuk di-Cap baik oleh selain Allah merupakan hal yang keliru. Kamu sering melaksanakan Sholat malam dan rajin berjamaah di masjid hanya untuk mendapat pujian dari manusia. Itu merupakan sakralisasi beragama. Buat apa pujian orang itu jika kamu tidak naik kelas, sholat khusyuk’ dan benar-benar berpuasa yang tidak hanya menahan lapar dan haus contohnya?

            Maka, jauhilah sakralisasi dalam beragama itu. Jauhilah pencitraan-pencitraanmu itu. Sejatinya itu bukan dirimu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar