Ngaji Filsafat, Rabu 10 Mei 2017
Syeikh Siti Jenar: Sholat.
(Pak Fahruddin
Faiz) selanjutnya aku panggil ‘Bapak’ ngajak narget buat ntar bulan puasa yang tinggal menghitung hari lagi. Narget banyak hal,
per-Rajin lagi ngaji Qur’an, pokoknya harus bisa minimal tamat sebulan 2
kali atau bahkan harus lebih dari itu. Narget puasanya tidak hanya lahir
saja, tapi juga bathin. Termasuk: kita tu sebenarnya tahu banyak hal bahkan
sampai hafal banget, tapi jarang sekali sadar. Sadar itu ya, yang
memerintah kan itu hatimu, bukan paksaan orang atau kehendak orang. Kalo
misal nanti puasa dan sholatmu malah membebanimu, maka sebenarnya kamu belum
sadar akan puasa dan sholat itu.
Bapak bilang: Sudah
betul memang kita harus menjalankan syariat lahir, sholat jungkir balik 5 rakaat, puasa senin-kamis-ayyamul
biid-bahkan puasa wajib ramadhan, zakat, dan menunaikan haji. Tapi yang
bathin juga jangan sampai dilupakan, jangan sampai ditinggalkan.
Bagaimana bisa
syariat lahir itu malah bisa menjauhkan mu dari Allah? Dengan niat hajimu yang
hanya ingin ‘gelar’ setelah pulang haji saja contohnya. Kamu begitu bangga
dengan gelar ‘kehajian’mu itu atau bahkan bulak-balik berangkat ibadah haji
tiap tahun, tapi kamu tidak menemukan kesadaran dan kekhusyuk’an beribadah.
Atau dengan Sholat
contohnya. Kenapa kamu tidak mendapatkan kekhyusuk’an saat melaksanakan sholat?
Jawabannya karena keseluruhan dirimu masih sangat keterkaitan dengan materi,
dengan duniawi, yang sifatnya hanya sementara dan sebenarnya tidak nyata. Dunia
mu itu hanya titipan dan amanah Allah bagimu.
Bapak berkata:
karena yang hilang dari terlalu fokus pada syariat lahir adalah Allah. Nanti
tujuanmu bukan Allah, tapi surga. Padahal surga itu adalah makhluk Allah juga, sama
seperti kita, manusia, sang makhluk Allah yang dimuliakan oleh-Nya dan diberi
mandat untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini.
Surga dan
Neraka itu sejatinya bukan tujuan. Yang menjadi tujuan seharusnya
hanya Allah saja. Surga dan Neraka letaknya pada masing-masing. Orang
bergelimang harta, hidupnya selalu merasa terancam oleh para pesaing bisnisnya,
tidur tak nyenyak, makan tak enak, jalan pun gelisah, itulah neraka.
Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil, hasil bercocok tanam
cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore
dapat duduk bersandar dihalaman rumah sambil memandang hamparan sawah hijau,
hatinya sesejuk udaranya, dan tenang jiwanya, maka itulah Surga. Kehidupan ini
telah memberi manusia mana surga mana neraka. (Syeikh Siti Jenar).
Satu lagi, Puasa. Puasa
yang hakiki, yaitu puasa menahan hati dari menyembah, memuji, memuja, dan
mencari ghoiru-Allah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara
menahan mata hati dari memandang Ghoiru-Allah, baik yang bathin maupun yang
lahir. Yang lahir, sangat jelas jika engkau mengkultuskan manusia. Membela
mati-matian orang itu. Karena kata Gus Dur: tidak ada jabatan di dunia ini yang
harus kau pertahankan mati-matian. Semuanya akan diambil lagi, bakal hilang
dari genggamanmu. Dan kamu tidak akan punya apa-apa lagi. Nah yang bathin, kamu
sangat percaya pada akalmu sama sekali dan menghilangkan peran Tuhan dalam
dirimu. Padahal sejatinya lahir-bathin/panca indera-akal sering menipu. Sering
keliru. Hanya mengenal alam materi saja. Pakailah pemberian-pemberian Allah
yang lain lagi, nurani dan intuisi contohnya.
Puasa merupakan
tindakan rohani yang mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme
dan keinginan yang hanya untuk diri sendiri. Jika kamu benar-benar
ber-Puasa sesuai dengan konsep di atas. Maka tujuanmu adalah bertemu dengan
Tuhanmu, yaitu Allah. Tidak akan ada pamrih-pamrih lagi, tidak akan ada dagang
lagi sama Allah, tidak akan ada lagi keinginanmu untuk mendapatkan surga.
Kamu sering
berpuasa hanya untuk di-Cap baik oleh selain Allah merupakan hal yang keliru.
Kamu sering melaksanakan Sholat malam dan rajin berjamaah di masjid hanya untuk
mendapat pujian dari manusia. Itu merupakan sakralisasi beragama. Buat apa
pujian orang itu jika kamu tidak naik kelas, sholat khusyuk’ dan benar-benar
berpuasa yang tidak hanya menahan lapar dan haus contohnya?
Maka, jauhilah
sakralisasi dalam beragama itu. Jauhilah pencitraan-pencitraanmu itu. Sejatinya
itu bukan dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar