EVA

Jangan sengaja pergi agar dicari, Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu

Sabtu, 05 Desember 2015

ILMU HADITS DIRAYAH



MAKALAH 
ILMU HADITS DIRAYAH
Tugas mata kuliah Al-Qur'an Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Tulus Mustofa

disusun oleh:
Eva Syarifatul Jamilah (15420013)
Hamasliko Mahdawati (15420015)

PROGRAM DIDIKAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUSNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2015/2016
 
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw. yang telah menjelaskan Al-Qur’an dengan ucapan, sikap, dan keteladanan, demikian pula kepada para sahabat dan keluarga beliau.
Dengan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah al-Qur’an al-Hadits, dengan judul Makalah yang berjudul Pembagian Hadits dari aspek Dirayah.
Makalah ini kami susun berdasarkan dengan pengetahuan yang kami dapatkan dari membaca beberapa buku tentang Ilmu Hadist. Oleh karena itu, kami menyusun makalah ini agar kami lebih memahami Ilmu Hadits dan pembagian Hadits dari aspek Dirayah.
Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini pada penulisan-penulisan berikutnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada :
1.      Teman-teman yang telah membantu kami untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dan yang telah menyisihkan waktunya untuk membantu kami mengumpulkan data yang akurat.
2.      Orang tua kami yang telah membantu kami dengan memberikan semangat dan do’anya.


Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1    Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
1.2    Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3    Tujuan Penulisan...................................................................................... 2
1.4    Manfaat Penulisan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 4
     2.1 Ilmu Hadist Dirayah................................................................................. 4
2.2 Model Pengembangan Hadist Dirayah..................................................... 8
2.3 Sejarah Pengembangan Ilmu Hadist Dirayah......................................... 19
2.4 Faidah Ilmu Hadist Dirayah................................................................... 20
2.5 Kepentingan Ilmu Hadist Dirayah......................................................... 21
BAB III PENUTUP......................................................................................... 23
3.1    Simpulan................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 24



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu Aqli dan Naqli. Sumber  naqli ini merupakan pilar sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentif bagi ummat Islam dalam hal ini adalah Al-Quran dan Hadits.
Hadits dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum Muslim dari berbagai madzhab Islam, sebagai sumber ajaran Islam; karena dengan adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan spesifik. Sepanjang  sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam dalam berbagai kitab hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya ialah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti al-Muwatta; al-Umm, al-Musnad, al-Kutub al-Sittah yang terdiri atas Sahihain dan al-Sunan al-Arba’ah, al-Musannaf, al-Mustadrak, al-Mustakhraj, dan lain-lain. Kitab-kitab ini pun merupakan nuansa dan perbedaan penyusunannya dalam menggunakan pendekatan, metode, dan kriteria, bahkan pada teknik penulisan. Tak ada seorang pun dari ahli hadits itu yang sama dalam menyusun karya-karyanya. Indikatornya dapat dilihat dari nama-nama yang mereka berikan pada karya-karya tersebut,. Hal ini dilakukan bukan hanya pada kitab-kitab yang ada di kalangan madzhab Sunni, tetapi juga Syi’ah, walaupun secara konseptual, yang dinamakan hadits dan sunnah antara kedua madzhab ini berbeda.
Dalam penelitiannya, para ulama hadits itu menggunakan dua pendekatan, yaitu kritik sanad dan matan, sehingga melahirkan teori-teori yang berkaitan dengannya. Kedua pendekatan tersebut bukan suatu yang baru dalam pendekatan studi hadits, karena bila ditelusuri ke zaman sahabat, pendekatan ssini sudah digunakan. Teori-teori ini muncul belakangan, yakni ketika disusun secar sistematis oleh para pakar hadits, lalu di dokumentasikan dalam kitab-kitab yang sisebut dengan Ulum al-Hadits dan kitab-kitab Rijal al-Hadits, sehingga terakumulasi dalam ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil. Dalam menggunakan ilmu ini, pendekatan kritik hadits ini pun, maka ahli hadits menggunakan tiga paradigma, yaitu Tasyaddud (ketat), tawassut (moderat), dan tasahul (longgar). Implikasinya ialah kitab-kitab hadits yang disusun oleh ulama dengan berbagai martabatnya.
Secara garis besar menurut kajian muta’khirun ilmu hadis terbagi menjadi dua, yaitu, ilmu hadist Riwayah dan ilmu hadist Dirayah. Ilmu hadis Dirayah ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya. Serta untuk mengetahui keadaan para rawi, baik syarat-syaratnya macam-macam hadis yang diriwayatkan, dan segala yang berkaitan dengannya.
1.2  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.2.1 Bagaimana definisi Ilmu Hadits Dirayah?
1.2.2 Bagaimana model pengembangan Hadits Dirayah?
1.2.3 Bagaimana sejarah perkembangan Hadits Dirayah?
1.2.4 Apa faidah dari penerapan Ilmu Hadits Dirayah?
1.2.5 Apa manfaat dari mempelajari Ilmu Hadits Dirayah?
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.3.1   Untuk mengetahui definisi Ilmu Hadits Dirayah.
1.3.2   Untuk mengetahui model pengembangan Hadits Dirayah.
1.3.3   Untuk mengetahui Sejarah perkembangan Hadits Dirayah.
1.3.4   Untuk mengetahui faidah menerapkan/penerapan Ilmu Hadits Dirayah.
1.3.5   Untuk mengetahui manfaat pentingnya penerapan Ilmu Hadist Dirayah.
1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini yaitu:
1.      Khalayak umum, yang sama-sama sedang mencari ilmu
2.      Diri penulis sendiri, yang masih memiliki banyak kekurangan ilmu agama maupun ilmu pengetahuan.






























BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah memahami secara bagian-bagiannya. Hadits. Secara bahasa berarti baru, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat pribadinya dan juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.
Hadits yang disandarkan kepada sahabat namanya hadits mauquf sedangkan hadits yang disandarkan kepada tabi'in namanya hadits maqthuu'.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan para Ahli Hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits Riwayah dan ilmu hadits Dirayah.
Ilmu Hadis Dirayah yaitu Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Ilmu hadist Dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan hadits-hadits itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) suatu hadits, dan selanjutnya kita bisa mengamalkan hadits maqbul dan meninggalkan hadits mardud.
Secara teori, ilmu hadits Dirayah dan ilmu hadits Riwayah merupakan dua bagian yang berbeda. Tetapi pada hakikatnya dua bagian ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena setiap periwayatan hadits tentu memerlukan kepada kaidah yang mengukur shahih atau tidaknya, dan diterima atau ditolak hadits tersebut. Oleh karena itu, masing-masing ilmu tersebut tidak mungkin berdiri sendiri.
Ibnu al-Akfani memberikan pengertian Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: “dan Ilmu Hadits yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya”. [1]
Uraian dan elaborasi [2] dari definisi di atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai beikut: “Hakikat riwayat, adalah kegiatan sunah (hadits) dan penyandaran kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau Ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).[3]
·         Syarat-syarat menerima hadits, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara Tahammul al-Hadits), seperti:
1.      Sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadits dari seorang guru).
2.      Qira’ah (murid membacakan catatan hadits dari gurunya di hadapan guru tersebut).
3.      Ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan).
4.      Kitabah (menuliskan hadits untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk seseorang).
5.      I’lam (memberitahu seseorang bahwa hadits-hadits tertentu adalah koleksinya).
6.      Washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadits yang dikoleksinya).
7.      Wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang hadits dari seorang guru). [4]
·         Macam-macam riwayat yaitu seperti periwayatan Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.
·         Hukum riwayat, adalah al-Qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-Radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
·         Keadaan para perawi, maksudnya keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’Adalah) dan ketidakadilan mereka (al-Jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada Tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-Adda’).
Jenis yang diriwayatkan (Ashnaf al-Marwiyyat), adalah penulisan hadits di dalam kitab al-Musnad, al-Mu’jam, atau al-Ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun hadits Nabi saw. Definisi yang lebih ringkas namun komprehensif [5] tentang Ilmu Hadis Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai berikut : “Ilmu hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari segi diterima atau ditolaknya.[6]
Al-Khathib lebih lanjut menguraikan definisi di atas sebagai berikut: al-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwatkan atau menyampaikan hadits dari satu orang kepada yang lainnya; al-Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw atau kepada yang lainnya, seperti sahabat atau yang lainnya Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi Jarh dan Ta’dil ketika Tahammul dan Adda’ al-Hadist, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan hadits; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits. [7]
Objek kajian atau pokok bahasa ilmu hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan hadits.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
1.      Segi persambungan sanad (Ittishal al-Sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadits haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar.
2.      Segi kepercayaan sanad (Tsiqat al-Sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadits harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi haditsnya).
3.      Segi keselamatan dan kejanggalan (Syadz).
4.      Keselamatan dan cacat (‘Illat).
5.      Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya:
1.      Dari kejanggalan redaksi (Rakakat al-Faz).
2.      Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (Fasad al-Ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah.
3.      Dari kata-kata asing (Gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi [8] Ilmu hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak).
Ilmu hadits Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul hadits, Mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadits, dari segi diterima dan ditolaknya.[9]
Para ulama hadits membagi Ilmu hadits Dirayah atau Ulumul hadits ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian hadits Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaannya (Tahammul) dan periwayatan (Adda’) hadits, pembahasan al-Jarih dan al-Ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang Tsiqat dan yang Dha’if, dan pembahasan lainnya.
Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul hadits, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul hadits tersebut banyak sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya.[10] Ibn al-Shaleh menyebutkan ada 65 macam Ulumul hadits, sesuai dengan pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas. [11]
2.2 Model Pengembangan Hadits Dirayah
Pokok pembahasan ilmu Dirayah itu dua, yaitu:
1.      Rijal al-Sanad
2.      Jarah Ta’dil.
Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai Shahih, Hasan atau Dha’if. Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
1.      Rijal al-Sanad sering disebut riwayat perawi al-Hadits, yaitu untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits. Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari d aerah mana dia, kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya (Ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi, atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits yaitu:
1.       Muslim
2.       Aqil-baligh
3.       Kesatria (’Adalah)
4.       Kuat ingatan (Dlabith), baik dlabith ingatan atau dlabith catatan
Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid (Wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan sebagainya.
·         Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.
Jumlah sahabat Nabi susah dihitung, karena banyak yang tersebar di beberapa negara. Sebagai gambaran, Ibnu Abbas menceritakan bahwa pada sepuluh hari sesudah Ramadlan, Rasulullah berpuasa, dan para sahabat pun ikut puasa. Setelah perjalanan sampai di daerah Kudaid, Rasulullah berbuka puasa, kemudian meneruskan perjalanan diikuti oleh sepuluh ribu sahabat, sampai ke daerah Shurar. Kasus itu terjadi menjelang Fathu Makkah. Dalam tempat lain, Kitab Nur al-Yaqin menulis bahwa Rasulullah melaksanakan Haji Wada’ dan diikuti oleh enam puluh ribu kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Banyak kitab yang meriwayatkan tentang sahabat Nabi, antara lain:
1.      “Ma’rifah man Nazala min al-Shahabah Saira al-Buldan” karya Ibn al-Madini (w.234 H)
2.      “Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab” karya Ibn Abd al-Barr (w 473 H)
3.      “Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah” karya Ibn al-Atsir (w. 630 H)
4.      “Tajrid Asma al-Shahabah” karya al-Dzahabi (w.748 H)
5.      “Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabh” karya Ibn Hajar al-Asqallani (w 852 H). Kitab ini menyajikan riwayat 9477 nama sahabat, 1268 Kuniyah shahabat, dan 1552 tarjamah sahabat perempuan. Dan dalam kitab ini pula Thabaqat al-Shahabah diterangkan.
·         Lapisan perawi kedua adalah tabi’in. Yaitu seseorang yang bertemu sahabat Nabi, dan mengikuti Islam sampai dia wafat. Jumlah tabi’in susah dihitung, karena jumlahnya berlibat ganda dari jumlah sahabat Nabi. Banyak kitab yang menceritakan tentang tabi’in, tetapi digabungkan dengan riwayat perawi lain.
Dalam kaitan ini, Ibn Saad (w.230 H) menulis Al-Thabaqat al-Kubra. Kitab ini membahas sekumpulan tokoh yang hidup dalam tahun yang berdekatan, sebagai satu thabaqat. Kemudian disusul dengan sekelompok perawi berikutnya, sebagi thabaqat kedua, dan begitulah setetusnya, sampai tertata beberapathabaqat. Karya ini diikuti oleh Al-Ushfuri (w. 240 H).
Teknik penulisan matan hadits, sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan: Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin, sudah banyak ditulis dalam Kitab Kuning, yang ada dalam perpustakaan, atau dalam CD, dan website. Semua itu adalah substansi ilmu hadits yang sudah baku, statis, dan tidak akan berubah. Karena itu, semua tulisan tadi disebut Buku Kecil.
Sedangkan Buku Besar bagi pengembangan metoda penulisan (Takhrij al-Sanad) itu, ada dua model, yaitu internal dan eksternal.
Pengembang internal takhrij ada empat unsur.
1.      Unsur rujukan yang dipergunakan oleh perawi untuk menceritakan hadits kepada murid, apakah memakai dalil nornatif (keyakinan), atau dalil empirik (kondisi dan situasi), atau dalil metodologis.
2.      Unsur kerangka berfikir yang kreatif apa, setelah perawi itu membaca pemikiran tokoh-tokoh pendahulunya.
3.      Unsur cara kerja bagaimana yang mengaktualisasikan periwayatan hadits kepada murid, dengan cara penyampaian tertentu.
4.      Unsur bentuk dan model-model substasi hadits yang disampaikan oleh rawi kepada murid, memakai riwayat bi al-makna (konseptual) atau tekstualis seperti bacaan Rasulullah, ketika rawi meriwayatkan do’a, dzikir atau Jawami’ al-Kalim kepada muridnya.
Pengembangan eksternal Takhrij juga ada empat.
1.      Unsur entitas kehidupan mencakup aspek kultur dan aspek struktur dalam sistem sosial, termasuk pemakaian pola pikir Ahli Sunnah, Syi’ah dan lain-lain.
2.      Unsur perubahan sosial yang mempengaruhi pemikiran tokoh perawi, seperti kehidupan hadits di Hujaz berbeda dengan kehidupan di Baghdad dan lain-lain. Karena itu, dulu muncul format hadits riwayat bi al-makna, dan itu dianggap sebagai format hadits. Sekarang bukan format lagi, tetapi perlu konsep formatisasi oleh teks hadits tadi.
3.      Unsur tradisi intelektual di kalangan muhadditsin, seperti penulis, pengajar, atau muballigh dan lain-lain.
4.      Unsur komunitas perawi sebagai pendukung sosialisasi pemikiran di kalangan ahli hadits, apakah mereka komunitas ahli hadits, atau ahli rakyu, atau komunitas apa namanya.
Semua unsur yang disebutkan dalam Buku Besar itu belum banyak dilakukan oleh ahli-ahli hadits sekarang. Atas dasar itu, pemikiran takhrij al-hadits belum dianggap berkembang.
2.      Jarhi wat Ta’dil adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu membahas Jarah Ta’dil.
Jarah ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di atas. Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah berkembang.
Dalam pengembangannya, Jarah Ta’dil merupakan produk cara berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi, seperti kitab itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah ta’dil juga merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian keabsahan sebuah sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau ta’dil itu jika X atau Y dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Selanjutnya Jarah Ta’dil juga dijadikan kerangka penilaian baik diarahkan untuk menguji keajegan atau untuk mempertajam cakupannya. Di sini tampak relasi antara unsur rawi dan unsur takhrij. Sedangkan Jarah Ta’dil itu sendiri suatu ketika diturunkan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat deduktif, dan suatu ketika data rawi digeneralisasikan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat induktif. Dengan kata lain, Takhrij untuk memproduksi Jarah Ta’dil dapat dikelola dengan berfikir deduktif dan dapat dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci, fokus pengembangan Jarah Ta’dil tersebar berdasarkan dua pemilahan.
1.      Pemilahan matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya.
2.      Pemilahan rawi dari segi Jarah atau Ta’dil berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengelompokkan ulama pemikir Jarah Ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap rawi, sehingga ada rawi yang disepakati Jarahnya, ada yang disepakati adilnya, dan yang paling banyak adalah ulama yang diikhtilafkan penilaian jarah dan ta’dilnya. Atas dasar itu, Jarah Ta’dil dapat diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah ta’dil dapat dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-ta’dil. Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari dan harus dirumuskan, yaitu:
a)      Apa tujuan jarah-ta’dil.
b)      Bagaimana bentuk penilaian jarah atau ta’dil untuk seorang rawi.
c)      Apakah hadits itu tergolong hadits Tasyri’ atau hadits Irsyad, atau jalan tengan di antara Tasyri dan Irsyad.
d)     Teknis penerapan ilmu Takhrij al-Rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin baik mutaqaddimin atau mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara berfikir ulama dengan menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan berfikir seperti itu terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun dalam Jarah Ta’dil karya-karya Yahya ibn Ma’in, al-Bukhari, atau al-Hakim dan lain-lain, termasuk Jarah Ta’dil karya al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar. Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa Jarah Ta’dil memiliki hubungan dengan empat langkah. Yaitu:
(a)  Pemikiran ulama tentang jarah ta’dil.
(b) Ulasan proses induksi dalam jarah tadil kepada rawi.
(c)  Hadits yang ditakhrij sanadnya, apakah itu hadits tasyri’ saja atau hadits irsyad juga.
(d) Cara penerapan takhrij kepada hadits itu. Atas dasar itu, jarah ta’dil yang ditulis dalam berbagai kitab itu disebut Buku Kecil, dan empat langkah yang mengiringinya disebut Buku Besar.
3. Model aplikasi Jarah Ta’dil. Model ini terdiri atas empat langkah.
(a) Sumber Jarah Ta’dil yaitu penilaian seperti terdihimpun dalam Kitab Kuning, tersebut di atas.
(b) Dari kitab-kitab itu terdapat jenjang Jarah atau Ta’dil menurut pemisahan ulama.
(c)  Jenjang kaidah Jarah Ta’dil itu merupakan produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak dapat digunakan untuk memahami hakikat hadits baik bersifat umum atau khusus.
(d) Atas dasar itu Jarah Ta’dil dapat diaplikasikan bagi penataan kehidupan para muhaddits yang memiliki daya atur, daya ikat, bahkan daya paksa, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim mengalahkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim (ilqa dan mu’asharah) mengalahkan rawi yang ditakhrij oleh ulama lain. Berangkat dari pemikran itu, Jarah-Ta’dil dapat mempengaruhi pola pikir muhadditsin untuk menata suatu kasus yang ada dalam masyarakat.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan Jarah Ta’dil bisa didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi sebagai dalil metodologis.
Fokus kedua (pemikiran ulama mazhab jarah-ta’dil) didefinisikan sebagai proses induktif, yaitu dipelajari ketika ulama itu merumuskan jarah-ta’dil.
Fokus ketiga tentang aplikasi Jarah Ta’dil, dapat didefinisikan sebagai cara kerja dalam proses aplikasi bagi penataan kehidupan manusia yang dikaitkan pada pengamalan hadits.
Kaitan Buku Kecil dengan Buku Besar merupakan suatu kontinum yang dihubungkan oleh suatu proses yang bersifat dinamis. Ilmu Manthiq menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istidlal, Ilmu Uhul Fiqh menyebutkan dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul al-Tafsir menyebutkan dengan nama isti’wal. Semua penyelesaian ilmu-ilmu metoda itu memilih kerangka pemikiran dan metoda yang dianggap tepat.
 Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu:
1.      Bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi Hadits Qudsi, Hadits Nabawi bukan Qudsi, Jawami’ al-Kalim, Hadits Dzikir dan Do’a, Hadits Riwayat bi al-Makna, dan Aqwal al-Shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits.
Gambaran nya adalah sebagai berikut:
1.      Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)
Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu:
o   Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits.
o   Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.
o   Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.
o   Khalayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,
o   Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.
2.      Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan bertentangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah: ”Saya melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat.” Riwayat Malik, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh mansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa mansukh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah “Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar” karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
3.      Asbab Wurud al-Hadits.
Teori ini membahas tentang latar belakang datangnya sebuah hadits yang diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzuldalam Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah “Al-Bayan wa al-Ta\rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif” karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120 H).
Nasikh Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan maahaul al-hadits).
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan hadits.
Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang melatar belakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan latarbelakang munculnya pemecahan itu.\

2.3    Sejarah perkembangan Ilmu hadits Dirayah
Para peneliti hadits memperhatikan bahwa dasar-dasar Ilmu Hadist Dirayah sudah terdapat sejak masa Nabi Muhammad, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran (QS. Al-Hujarat: 6)  
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Ayat diatas memerintahkan kita untuk memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang fasik. Diperiksa untuk diverifikasi keobjektivitasnya dari sumber berita tersebut.
Pada mulanya memang membawa hadits tidak dipersyaratkan adanya sanad (sandaran penyampaian berita), kerena mereka saling mempercayai kejujurannya. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik anteralit, yakni antara pendukung Ali dan Muawwiyah, ummat menjadi terpecah kebeberapa sakte, mulailah terjadi pemalsuan hadits, maka para ulama’ mempersaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad . sebagaimana Ibn sirin yang dikutip dari shahih muslim: artinya ”semulah mereka tidak ditanya tentang isnad. Akan tetapi, tatkala terjadi fitnah, para ulama berkata: sebutkan kepada kami para-para pembawa berita. Kemudian dilihat jika mereka ahli sunnah diambillah hadist mereka dan mereka ahli bid’ah maka haditsnya ditinggalkan”.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa hadits tidak diterima kecuali disertai sanad, maka dapat disimpulkan bahwa pada sa’at itu telah timbul pembicaraan periwayatan mana yang tercelah dan mana yang adil (Ilmu Jahri Wata’dil), sanad mana yang terputus (Munqoti’) dan mana yang bersambung (Muttasil), dan cacat (‘Illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam taraf yang sederhana.
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan (Dhabit) kuat apa tidak, bagaimana metode menerima (Tahammul) dan menyampaikan (‘ada) hadits, nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-hadist) dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan dari mulut kemulut. Baru pada abad kedua hijriyah sampai abad ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri. Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang ditulis oleh as-Syafi’i, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab “al-Umm” dan “al-Ikhtilaf al-Hadits” karya as-Syafi’i (w.204 H).
2.4    Faedah Ilmul Hadits Dirayah
Faedah mengetahui ilmul hadits dirayah (Ilmu Dirayah Hadits), ialah mengetahui mana hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang harus kita terima (yang maqbul) dan mana yang harus ditolak (yang mardud).
Kedua ilmu ini melangkapi satu sama lain. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing dari ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tidak lah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ilmu hadits dirayah; karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan kepada kita.
Ilmu hadits dirayah terhadap matan hadits, sama dengan kedudukan tafsir terhadap al-quran, atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. [12]
Pembahasan-pembahasan yang berpautan dengan ilmu hadits ini, pada mula-mula tumbuh, banyak macamnya yang diperkatakan dalam sesuatu kitab. Tetapi banyak masing-masing macam itu mempunyai maudlu’ sendiri-sendiri, ghayah sendiri dan manhaj sendiri. Dan semuanya itu dibicarakan sebagai suatu ilmu.
Tetapi setelah berkembang usaha penyusunan kitab, barulah masing-masing ahli memperkatakan sesuatu problema dari pembahasan-pembahasan ilmu hadits dan menjadi banyaklah macamnya, yang masing-masingnya dibahas sendiri-sendiri. Namun demikian semuanya itu dicakup oleh istilah ulumul hadits(ilmu-ilmu hadits). Sebahagian ulama memakai istilah ’ushulul hadits ( qaidah-qaidah hadits). [13]
Bahkan ada yang menamakan musthalul hadits. Inilah nama-nama yang telah diistilahkan para ulama untuk ‘ilmul hadits dirayah. Dan nama-nama itu semuanya merupakan nama bagi sekumpulah kaidah dan masalah yang dengan ka’idah dan masalah itu, kita mengetahui keadaan perawi-perawi dan keadaan-keadaan marwi. [14]
Lantaran inilah kita tidak boleh mencukupi dengan mempelajari lafadh hadist serta sanadnya saja tanpa memperhatikan keadaan rawi, keadaan marwi dan pengistimbatan hukum dari padanya. [15]
2.5    Kepentingan IImu Hadist Dirayah
Ilmu ini menerangkan mana hadits yang shahih, mana yang dla’if, mana yang marfu’, mana yang mauquf, mana yang maqbul dan mana yang mardud.
Atas pengetahuan inilah kita bina pengistimbatan hukum. Ilmu ini (ilmu dirayah hadits) adalah suatu ilmu yang hanya dimiliki ummat islam. Dia benar-benar suatu ilmu yang bernilai tinggi yang disumbangkan ulama-ulama islam kepada kebudayaan manusia.
Ilmu dirayah hadits tumbuh bersama-sama dengan tumbuh periwayatan hadits, dia lahir sesudah Rasulullah saw. wafat, yaitu diketika para ulama Islam memulai usaha mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan ke kota-kota Islam. Maka dengan sendirinya para ulama berusaha membuat qaida-qaidah dan munhaj-minhajyang harus dijadikan pedoman dalam menerima riwayat dan menolaknya.
Para sahabat dan tabi’in mengikuti qaidah-qaidah ilmiah dalam menerima hadits, walaupun mereka tidak menandaskan ka’idah ka’idah yang dipegangi itu.
Kemudian ahli-ahli ilmu yang datang sesudah mereka, mengistimbatkan kaidah- kaidah dan masalah hadits dari cara yang telah ditempuh para sahabat, sebagaimana mereka  mengistimbatkan syarat-syarat riwayat, jalan-jalan singkat, kaidah-kaidah Jarah dan Ta’dil.
Ilmu riwayatil hadits dan ilmu dirayatul hadits berjalan seiring, karena dimana ada periwayatan hadits, tentulah ada kaidah dan minhaj yang dipakai dalam penukilan riwayat itu.














BAB III
PENUTUP

3.1    Simpulan
Dari berbagai defenisi dari para ulama, dapat disimpulkan bahwa  ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui  hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Adapun Faedah mengetahui ilmul hadits dirayah (‘ilmu dirayah hadits), ialah mengetahui mana hadits yang disandarkan kepada rasul saw yang harus kita terima (yang maqbul) dan mana yang harus ditolak (yang mardud). Kedua ilmu ini melengkapi satu sama lain.. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing dari ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tiadalah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ilmu hadits dirayah; karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan kepada kita.















DAFTAR PUSTAKA

https://attanzil.wordpress.com/2008/08/05/ulumul-hadits/. Di unduh pada tanggal 03 november 2015, 10.26
http://marcopangngewa.blogspot.co.id/2011/09/hadis-riwayah-dan dirayah.html
http://lbm.mudimesra.com/2015/02/pembagian-ilmu-hadits-riwayah-dirayah.html
http://blog.umy.ac.id/wahyuprastiyani/2012/10/11/pembagian-ilmu-hadits-dan-cabangnya/, Di unduh pada tanggal 03 11 2015 jam 10.19









[1] Lihat al-Suyuthi., Tadrib al-Rawi., h. 40; Lihat juga al-Qasimi., Qawa’id al-Tahdits., h.75
[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Elaborasi berasal dari kata ela.bo.ra.si/elaborasi/ n 1 penggarapan secara tekun dam cermat: nilai filsafat antropologi modern terletak dalam – dan pendalaman pengetahuan historis tentang manusia
[3]    Al-Suyuthi., Tadrib al-Rawi., h. 40.
[4]   Lihat M.M Azami., Studies ih Hadith Methologi and Literature., 16: Mahmud al-thahhan., Taisir Mushthalah al-Hadist., h. 157-164
[5] Menurut KBBI Komprehensif/kom.pre.hen.sif/komprehensif/ a 1 bersifat mampu menangkap (menerima) dengan baik; 2 luas dan lengkap (tentang ruang lingkup atau isi); 3 mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas.
[6]  Lihat M, ‘Ajjaj al-Khathib., Ushul al-Hadits., h. 8
[7] Ibid., hal 8
[8]  Urgensi adalah Keharusan yang mendesak; hal sangat penting
[9]  Ibid., h. 9
[10] Ibid., h. 11, lihat juga Tadrib al-Rawi., h. 53
[11] Abu ‘Amr Ibn al-Shaleh., ‘Ulum al-Hadits., ed. Nur al-Din ‘Atr (Madinah: Maktabat al-Ilmiyyah, 1972)., h. 5-10.
[12] Baca: Mabahits fi’ulumil hadits., hal. 108
[13] Baca: al -Kifayah, al-Jami ’li Akhlaqir rawi Wa Sami’ ikhtisar ‘ulumul hadits dan baca Ushulul Hadits.,  hal.9
[14] Baca: Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
[15] Baca: al-Muhaddits al-Fashil Bainar rawi  wal  Wa’I tadzikiratul  Huffadh  2: 336






1 komentar:

  1. makasih mas, ijin share dan copy, ya .semoga bermanfaat. by: dakwahsyariah.com

    BalasHapus