MAKALAH
ILMU HADITS DIRAYAH
Tugas mata kuliah Al-Qur'an Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Tulus Mustofa
disusun oleh:
Eva Syarifatul Jamilah (15420013)
Hamasliko Mahdawati (15420015)
PROGRAM DIDIKAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUSNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji
bagi Allah yang telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
umat manusia. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad
saw. yang telah menjelaskan Al-Qur’an dengan ucapan, sikap, dan keteladanan,
demikian pula kepada para sahabat dan keluarga beliau.
Dengan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah al-Qur’an al-Hadits, dengan judul Makalah
yang berjudul Pembagian Hadits dari aspek Dirayah.
Makalah ini kami susun berdasarkan dengan
pengetahuan yang kami dapatkan dari membaca beberapa buku tentang Ilmu Hadist.
Oleh karena itu, kami menyusun makalah ini agar kami lebih memahami Ilmu Hadits
dan pembagian Hadits dari aspek Dirayah.
Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, demi
kesempurnaan makalah ini pada penulisan-penulisan berikutnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada :
1.
Teman-teman
yang telah membantu kami untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dan yang
telah menyisihkan waktunya untuk membantu kami mengumpulkan data yang akurat.
2.
Orang
tua kami yang telah membantu kami dengan memberikan semangat dan do’anya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1
Latar
Belakang Masalah.......................................................................... 1
1.2
Rumusan
Masalah.................................................................................... 1
1.3
Tujuan
Penulisan...................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 4
2.1 Ilmu Hadist Dirayah................................................................................. 4
2.2 Model
Pengembangan Hadist Dirayah..................................................... 8
2.3 Sejarah
Pengembangan Ilmu Hadist Dirayah......................................... 19
2.4 Faidah Ilmu
Hadist Dirayah................................................................... 20
2.5 Kepentingan
Ilmu Hadist Dirayah......................................................... 21
BAB III PENUTUP......................................................................................... 23
3.1 Simpulan................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan.
Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu Aqli dan Naqli. Sumber
naqli ini merupakan pilar sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan
oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada
umumnya. Dan sumber yang sangat otentif bagi ummat Islam dalam hal ini adalah
Al-Quran dan Hadits.
Hadits dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional
disepakati oleh mayoritas kaum Muslim dari berbagai madzhab Islam, sebagai
sumber ajaran Islam; karena dengan adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam
menjadi jelas, rinci, dan spesifik. Sepanjang
sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam dalam berbagai kitab
hadits yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga
menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya.
Implikasinya ialah terdapat berbagai macam kitab hadits, seperti al-Muwatta;
al-Umm, al-Musnad, al-Kutub al-Sittah yang terdiri atas Sahihain dan al-Sunan
al-Arba’ah, al-Musannaf, al-Mustadrak, al-Mustakhraj, dan lain-lain.
Kitab-kitab ini pun merupakan nuansa dan perbedaan penyusunannya dalam
menggunakan pendekatan, metode, dan kriteria, bahkan pada teknik penulisan. Tak
ada seorang pun dari ahli hadits itu yang sama dalam menyusun karya-karyanya.
Indikatornya dapat dilihat dari nama-nama yang mereka berikan pada karya-karya
tersebut,. Hal ini dilakukan bukan hanya pada kitab-kitab yang ada di kalangan
madzhab Sunni, tetapi juga Syi’ah, walaupun secara konseptual, yang dinamakan
hadits dan sunnah antara kedua madzhab ini berbeda.
Dalam penelitiannya, para ulama hadits itu menggunakan dua
pendekatan, yaitu kritik sanad dan matan, sehingga melahirkan teori-teori yang
berkaitan dengannya. Kedua pendekatan tersebut bukan suatu yang baru dalam
pendekatan studi hadits, karena bila ditelusuri ke zaman sahabat, pendekatan ssini
sudah digunakan. Teori-teori ini muncul belakangan, yakni ketika disusun secar
sistematis oleh para pakar hadits, lalu di dokumentasikan dalam kitab-kitab
yang sisebut dengan Ulum al-Hadits dan kitab-kitab Rijal al-Hadits, sehingga
terakumulasi dalam ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil. Dalam menggunakan ilmu ini,
pendekatan kritik hadits ini pun, maka ahli hadits menggunakan tiga paradigma,
yaitu Tasyaddud (ketat), tawassut (moderat), dan tasahul (longgar).
Implikasinya ialah kitab-kitab hadits yang disusun oleh ulama dengan berbagai
martabatnya.
Secara garis besar menurut kajian muta’khirun ilmu hadis terbagi
menjadi dua, yaitu, ilmu hadist Riwayah dan ilmu hadist Dirayah. Ilmu hadis
Dirayah ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam,
dan hukum-hukumnya. Serta untuk mengetahui keadaan para rawi, baik
syarat-syaratnya macam-macam hadis yang diriwayatkan, dan segala yang berkaitan
dengannya.
1.2
Rumusan
Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis
merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.2.1 Bagaimana definisi Ilmu Hadits Dirayah?
1.2.1 Bagaimana definisi Ilmu Hadits Dirayah?
1.2.2 Bagaimana model pengembangan
Hadits Dirayah?
1.2.3 Bagaimana sejarah perkembangan
Hadits Dirayah?
1.2.4 Apa faidah dari penerapan Ilmu
Hadits Dirayah?
1.2.5 Apa manfaat dari mempelajari
Ilmu Hadits Dirayah?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1.3.1
Untuk
mengetahui definisi Ilmu Hadits Dirayah.
1.3.2
Untuk
mengetahui model pengembangan Hadits Dirayah.
1.3.3
Untuk
mengetahui Sejarah perkembangan Hadits Dirayah.
1.3.4
Untuk
mengetahui faidah menerapkan/penerapan Ilmu Hadits Dirayah.
1.3.5
Untuk
mengetahui manfaat pentingnya penerapan Ilmu Hadist Dirayah.
1.4
Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan
makalah ini yaitu:
1. Khalayak
umum, yang sama-sama sedang mencari ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu secara bahasa berarti memahami
sesuatu, ilmu disini berarti memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan
ma'rifat adalah memahami secara bagian-bagiannya. Hadits. Secara bahasa berarti
baru, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat pribadinya dan
juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.
Hadits yang disandarkan kepada
sahabat namanya hadits mauquf sedangkan hadits yang disandarkan kepada tabi'in
namanya hadits maqthuu'.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan para Ahli Hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits Riwayah dan ilmu hadits Dirayah.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan para Ahli Hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits Riwayah dan ilmu hadits Dirayah.
Ilmu Hadis Dirayah yaitu Ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima
dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Ilmu hadist Dirayah
bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis yang diriwayatkan.
Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan hadits-hadits itu maqbul (diterima)
atau mardud (ditolak) suatu hadits, dan selanjutnya kita bisa mengamalkan
hadits maqbul dan meninggalkan hadits mardud.
Secara teori, ilmu hadits Dirayah
dan ilmu hadits Riwayah merupakan dua bagian yang berbeda. Tetapi pada
hakikatnya dua bagian ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena setiap
periwayatan hadits tentu memerlukan kepada kaidah yang mengukur shahih atau
tidaknya, dan diterima atau ditolak hadits tersebut. Oleh karena itu,
masing-masing ilmu tersebut tidak mungkin berdiri sendiri.
Ibnu al-Akfani memberikan pengertian
Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: “dan Ilmu Hadits yang khusus tentang
Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya”. [1]
Uraian dan elaborasi [2]
dari definisi di atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai beikut: “Hakikat
riwayat, adalah kegiatan sunah (hadits) dan penyandaran kepada orang yang
meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi
“haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau Ikhbar,
seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si
Fulan).[3]
·
Syarat-syarat
menerima hadits, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya
dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara Tahammul
al-Hadits), seperti:
1.
Sama’
(perawi mendengarkan langsung bacaan Hadits dari seorang guru).
2.
Qira’ah
(murid membacakan catatan hadits dari gurunya di hadapan guru tersebut).
3.
Ijazah
(memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang
ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan).
4.
Kitabah
(menuliskan hadits untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang
tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk
seseorang).
5.
I’lam
(memberitahu seseorang bahwa hadits-hadits tertentu adalah koleksinya).
6.
Washiyyat
(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadits yang dikoleksinya).
7.
Wajadah
(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadits dari seorang guru). [4]
·
Macam-macam
riwayat yaitu seperti periwayatan Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung
mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu
periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan
lainnya.
·
Hukum
riwayat, adalah al-Qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi
persyaratan tertentu, dan al-Radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan
tertentu yang tidak terpenuhi.
·
Keadaan
para perawi, maksudnya keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’Adalah) dan
ketidakadilan mereka (al-Jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat
(syarat-syarat pada Tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat
pada al-Adda’).
Jenis yang diriwayatkan (Ashnaf
al-Marwiyyat), adalah penulisan hadits di dalam kitab al-Musnad, al-Mu’jam,
atau al-Ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun hadits Nabi
saw. Definisi yang lebih ringkas namun komprehensif [5]
tentang Ilmu Hadis Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai
berikut : “Ilmu hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan
masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari segi diterima
atau ditolaknya.[6]
Al-Khathib lebih lanjut menguraikan
definisi di atas sebagai berikut: al-rawi atau perawi, adalah orang yang
meriwatkan atau menyampaikan hadits dari satu orang kepada yang lainnya; al-Marwi
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw atau kepada yang lainnya, seperti sahabat atau yang lainnya
Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui
keadaan para perawi dari segi Jarh dan Ta’dil ketika Tahammul dan Adda’
al-Hadist, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan
periwayatan hadits; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau
tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits. [7]
Objek kajian atau pokok bahasa ilmu
hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan hadits.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
1.
Segi
persambungan sanad (Ittishal al-Sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad
hadits haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir
yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak
dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak
diketahui identitasnya atau tersamar.
2.
Segi
kepercayaan sanad (Tsiqat al-Sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam
sanad suatu hadits harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan
atau dokumentasi haditsnya).
3.
Segi
keselamatan dan kejanggalan (Syadz).
4.
Keselamatan
dan cacat (‘Illat).
5.
Tinggi
dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan
adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat
dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam
al-quran, atau selamatnya:
1.
Dari
kejanggalan redaksi (Rakakat al-Faz).
2.
Dari
cacat atau kejanggalan dari maknanya (Fasad al-Ma’na), karena bertentangan
dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau
dengan fakta sejarah.
3.
Dari
kata-kata asing (Gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan
maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi [8]
Ilmu hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadits-hadits yang Maqbul
(yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang
ditolak).
Ilmu hadits Dirayah inilah yang pada
masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul hadits, Mushthalah
al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun
bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas
tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan)
suatu hadits, dari segi diterima dan ditolaknya.[9]
Para ulama hadits membagi Ilmu
hadits Dirayah atau Ulumul hadits ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada
permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian hadits
Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara
penerimaannya (Tahammul) dan periwayatan (Adda’) hadits, pembahasan al-Jarih
dan al-Ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar
belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang Tsiqat dan yang
Dha’if, dan pembahasan lainnya.
Masing-masing pembahasan di atas
dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul hadits, sehingga, karena banyaknya,
Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul hadits tersebut banyak
sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya.[10]
Ibn al-Shaleh menyebutkan ada 65 macam Ulumul hadits, sesuai dengan
pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas. [11]
2.2 Model
Pengembangan Hadits Dirayah
Pokok pembahasan ilmu Dirayah itu
dua, yaitu:
1.
Rijal
al-Sanad
2.
Jarah
Ta’dil.
Dari pembahasan dua ulasan itu
muncul penilaian, bahwa suatu matan hadits dinilai Shahih, Hasan atau Dha’if.
Kata penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
1.
Rijal
al-Sanad sering disebut riwayat perawi al-Hadits, yaitu untaian informasi
tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits dari satu rawi kepada rawi
yang lain, sampai pada penghimpun hadits. Informasi itu menceritakan setiap
rawi, dari segi kapan dia lahir dan wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun
belajarnya, siapa murid-murid yang berguru kepadanya, dari d aerah mana dia,
kedatangan dia ke seorang guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya
(Ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat (cacad) bagi perawi,
atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi,
persyaratan perawi hadits yaitu:
1. Muslim
2. Aqil-baligh
3. Kesatria (’Adalah)
4. Kuat ingatan (Dlabith), baik dlabith ingatan atau dlabith catatan
Sedangkan cara penyampaiannya bisa
menggunakan pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di
depan guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang
terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid
(Wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti konsep
dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan sebagainya.
·
Tingkatan
perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw. yaitu seseorang yang
pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup, sadar dan beriman (Islam)
sampai dia wafat dalam keadaan Islam.
Jumlah sahabat Nabi susah dihitung,
karena banyak yang tersebar di beberapa negara. Sebagai gambaran, Ibnu Abbas menceritakan
bahwa pada sepuluh hari sesudah Ramadlan, Rasulullah berpuasa, dan para sahabat
pun ikut puasa. Setelah perjalanan sampai di daerah Kudaid, Rasulullah berbuka
puasa, kemudian meneruskan perjalanan diikuti oleh sepuluh ribu sahabat, sampai
ke daerah Shurar. Kasus itu terjadi menjelang Fathu Makkah. Dalam tempat lain,
Kitab Nur al-Yaqin menulis bahwa Rasulullah melaksanakan Haji Wada’ dan diikuti
oleh enam puluh ribu kaum muslimin. Wallahu a’lam.
Banyak kitab yang meriwayatkan
tentang sahabat Nabi, antara lain:
1.
“Ma’rifah
man Nazala min al-Shahabah Saira al-Buldan” karya Ibn al-Madini (w.234 H)
2.
“Al-Isti’ab
fi Ma’rifah al-Ashhab” karya Ibn Abd al-Barr (w 473 H)
3.
“Usud
al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah” karya Ibn al-Atsir (w. 630 H)
4.
“Tajrid
Asma al-Shahabah” karya al-Dzahabi (w.748 H)
5.
“Al-Ishabah
fi Tamyiz al-Shahabh” karya Ibn Hajar al-Asqallani (w 852 H). Kitab ini
menyajikan riwayat 9477 nama sahabat, 1268 Kuniyah shahabat, dan 1552 tarjamah
sahabat perempuan. Dan dalam kitab ini pula Thabaqat al-Shahabah diterangkan.
·
Lapisan
perawi kedua adalah tabi’in. Yaitu seseorang yang bertemu sahabat Nabi, dan
mengikuti Islam sampai dia wafat. Jumlah tabi’in susah dihitung, karena
jumlahnya berlibat ganda dari jumlah sahabat Nabi. Banyak kitab yang
menceritakan tentang tabi’in, tetapi digabungkan dengan riwayat perawi lain.
Dalam
kaitan ini, Ibn Saad (w.230 H) menulis Al-Thabaqat al-Kubra. Kitab ini membahas
sekumpulan tokoh yang hidup dalam tahun yang berdekatan, sebagai satu thabaqat.
Kemudian disusul dengan sekelompok perawi berikutnya, sebagi thabaqat kedua,
dan begitulah setetusnya, sampai tertata beberapathabaqat. Karya ini diikuti
oleh Al-Ushfuri (w. 240 H).
Teknik penulisan matan hadits,
sanadnya dimulai dari penyebutan sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan
murid-muridnya, sampai guru perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits.
Semua penyajian seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimin dalam
kitab karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin
dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun matan
hadits itu saja, seperti sebutan: Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar dan
sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin atau ulama
mutaakhrin, sudah banyak ditulis dalam Kitab Kuning, yang ada dalam
perpustakaan, atau dalam CD, dan website. Semua itu adalah substansi ilmu
hadits yang sudah baku, statis, dan tidak akan berubah. Karena itu, semua
tulisan tadi disebut Buku Kecil.
Sedangkan Buku Besar bagi pengembangan
metoda penulisan (Takhrij al-Sanad) itu, ada dua model, yaitu internal dan
eksternal.
Pengembang internal takhrij ada
empat unsur.
1.
Unsur
rujukan yang dipergunakan oleh perawi untuk menceritakan hadits kepada murid,
apakah memakai dalil nornatif (keyakinan), atau dalil empirik (kondisi dan
situasi), atau dalil metodologis.
2.
Unsur
kerangka berfikir yang kreatif apa, setelah perawi itu membaca pemikiran tokoh-tokoh
pendahulunya.
3.
Unsur
cara kerja bagaimana yang mengaktualisasikan periwayatan hadits kepada murid,
dengan cara penyampaian tertentu.
4.
Unsur
bentuk dan model-model substasi hadits yang disampaikan oleh rawi kepada murid,
memakai riwayat bi al-makna (konseptual) atau tekstualis seperti bacaan
Rasulullah, ketika rawi meriwayatkan do’a, dzikir atau Jawami’ al-Kalim kepada
muridnya.
Pengembangan eksternal Takhrij juga ada empat.
1.
Unsur
entitas kehidupan mencakup aspek kultur dan aspek struktur dalam sistem sosial,
termasuk pemakaian pola pikir Ahli Sunnah, Syi’ah dan lain-lain.
2.
Unsur
perubahan sosial yang mempengaruhi pemikiran tokoh perawi, seperti kehidupan
hadits di Hujaz berbeda dengan kehidupan di Baghdad dan lain-lain. Karena itu,
dulu muncul format hadits riwayat bi al-makna, dan itu dianggap sebagai format
hadits. Sekarang bukan format lagi, tetapi perlu konsep formatisasi oleh teks
hadits tadi.
3.
Unsur
tradisi intelektual di kalangan muhadditsin, seperti penulis, pengajar, atau muballigh
dan lain-lain.
4.
Unsur
komunitas perawi sebagai pendukung sosialisasi pemikiran di kalangan ahli
hadits, apakah mereka komunitas ahli hadits, atau ahli rakyu, atau komunitas
apa namanya.
Semua unsur
yang disebutkan dalam Buku Besar itu belum banyak dilakukan oleh ahli-ahli
hadits sekarang. Atas dasar itu, pemikiran takhrij al-hadits belum dianggap
berkembang.
2.
Jarhi
wat Ta’dil adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam menentukan perawi
hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan kata lain hadits Nabi
dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu. Dari segi lain,
klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun, ditentukan oleh unsur
itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin
atau mutaakhirin, selalu membahas Jarah Ta’dil.
Jarah ta’dil
pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat,
dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu
dikongkritkan oleh ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil.
Kemudian konsep itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits
Nabi. Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari
zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi gagasan itu
baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in, seperti tersebut di
atas. Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya adalah
berkembang.
Dalam pengembangannya, Jarah Ta’dil merupakan produk cara berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi, seperti kitab itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah ta’dil juga merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian keabsahan sebuah sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau ta’dil itu jika X atau Y dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Dalam pengembangannya, Jarah Ta’dil merupakan produk cara berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi, seperti kitab itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah ta’dil juga merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian keabsahan sebuah sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau ta’dil itu jika X atau Y dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Selanjutnya
Jarah Ta’dil juga dijadikan kerangka penilaian baik diarahkan untuk menguji
keajegan atau untuk mempertajam cakupannya. Di sini tampak relasi antara unsur
rawi dan unsur takhrij. Sedangkan Jarah Ta’dil itu sendiri suatu ketika
diturunkan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat deduktif, dan suatu
ketika data rawi digeneralisasikan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang
bersifat induktif. Dengan kata lain, Takhrij untuk memproduksi Jarah Ta’dil
dapat dikelola dengan berfikir deduktif dan dapat dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci,
fokus pengembangan Jarah Ta’dil tersebar berdasarkan dua pemilahan.
1.
Pemilahan
matan hadits, seperti hadits akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits
sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya.
2.
Pemilahan
rawi dari segi Jarah atau Ta’dil berdasarkan jenjang kaidahnya, sehingga muncul
pengelompokkan ulama pemikir Jarah Ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin,
ulama mutawassithin, atau ulama mutasahilin. Semua itu berangkat
dari penilaian mereka terhadap rawi, sehingga ada rawi yang disepakati Jarahnya,
ada yang disepakati adilnya, dan yang paling banyak adalah ulama yang
diikhtilafkan penilaian jarah dan ta’dilnya. Atas dasar itu, Jarah Ta’dil dapat
diterapkan pada konteks yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah ta’dil dapat dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-ta’dil. Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari dan harus dirumuskan, yaitu:
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah ta’dil dapat dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-ta’dil. Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari dan harus dirumuskan, yaitu:
a)
Apa
tujuan jarah-ta’dil.
b)
Bagaimana
bentuk penilaian jarah atau ta’dil untuk seorang rawi.
c)
Apakah
hadits itu tergolong hadits Tasyri’ atau hadits Irsyad, atau jalan tengan di
antara Tasyri dan Irsyad.
d)
Teknis
penerapan ilmu Takhrij al-Rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin
baik mutaqaddimin atau mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara
berfikir ulama dengan menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan
berfikir seperti itu terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun
dalam Jarah Ta’dil karya-karya Yahya ibn Ma’in, al-Bukhari, atau al-Hakim dan
lain-lain, termasuk Jarah Ta’dil karya al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar.
Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa Jarah Ta’dil memiliki hubungan dengan
empat langkah. Yaitu:
(a) Pemikiran ulama tentang jarah ta’dil.
(b) Ulasan proses induksi dalam
jarah tadil kepada rawi.
(c) Hadits yang ditakhrij sanadnya, apakah itu
hadits tasyri’ saja atau hadits irsyad juga.
(d) Cara penerapan takhrij kepada
hadits itu. Atas dasar itu, jarah ta’dil yang ditulis dalam berbagai kitab itu
disebut Buku Kecil, dan empat langkah yang mengiringinya disebut Buku Besar.
3. Model aplikasi Jarah Ta’dil.
Model ini terdiri atas empat langkah.
(a) Sumber Jarah Ta’dil yaitu
penilaian seperti terdihimpun dalam Kitab Kuning, tersebut di atas.
(b) Dari kitab-kitab itu terdapat
jenjang Jarah atau Ta’dil menurut pemisahan ulama.
(c) Jenjang kaidah Jarah Ta’dil itu merupakan
produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak dapat digunakan untuk
memahami hakikat hadits baik bersifat umum atau khusus.
(d) Atas dasar itu Jarah Ta’dil dapat
diaplikasikan bagi penataan kehidupan para muhaddits yang memiliki daya atur,
daya ikat, bahkan daya paksa, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dan Muslim mengalahkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang
ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim (ilqa dan mu’asharah) mengalahkan
rawi yang ditakhrij oleh ulama lain. Berangkat dari pemikran itu, Jarah-Ta’dil dapat
mempengaruhi pola pikir muhadditsin untuk menata suatu kasus yang ada
dalam masyarakat.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan Jarah Ta’dil bisa didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi sebagai dalil metodologis.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan Jarah Ta’dil bisa didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi sebagai dalil metodologis.
Fokus kedua (pemikiran ulama mazhab jarah-ta’dil) didefinisikan
sebagai proses induktif, yaitu dipelajari ketika ulama itu merumuskan
jarah-ta’dil.
Fokus ketiga tentang aplikasi Jarah Ta’dil, dapat didefinisikan
sebagai cara kerja dalam proses aplikasi bagi penataan kehidupan manusia yang
dikaitkan pada pengamalan hadits.
Kaitan
Buku Kecil dengan Buku Besar merupakan suatu kontinum yang dihubungkan oleh suatu
proses yang bersifat dinamis. Ilmu Manthiq menyebutkan pekerjaan ini dengan
nama istidlal, Ilmu Uhul Fiqh menyebutkan dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul
al-Tafsir menyebutkan dengan nama isti’wal. Semua penyelesaian ilmu-ilmu
metoda itu memilih kerangka pemikiran dan metoda yang dianggap tepat.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah
matan hadits, dari segi penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu
Hadits Riwayah. Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan
ini hanya disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau
mekanisme matan hadits.
Matan
hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu:
1.
Bentuk-bentuk
hadits Nabi meliputi Hadits Qudsi, Hadits Nabawi bukan Qudsi, Jawami’ al-Kalim,
Hadits Dzikir dan Do’a, Hadits Riwayat bi al-Makna, dan Aqwal al-Shahabah.
Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan oleh para ulama dalam
bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu disebut format hadits.
Gambaran nya adalah sebagai berikut:
1.
Matan
Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan hadits)
Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu:
Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu:
o
Penyusun
konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan format hadits.
o
Misi
format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma, gagasan, atau
maksud yang dibawakan oleh format hadits.
o
Alat
atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk menyampaikan pesan
formatisasi kepada masyarakat.
o
Khalayak atau
komentator yang menerima formatisasi dari penyusun konsep,
o
Gambaran
atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah melihat formatisasi.
Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat perkembangan formatisasi.
2.
Nasikh
Mansukh fi al-Hadits.
Teori nasikh-mansukh
diterapkan, ketika ada dua hadits yang isinya kelihatan bertentangan, dan susah
dijadikan istinbath sebagai dalil hukum. Teori ini dikembangkan oleh
Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti
sabda Rasulullah: ”Saya melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka
ziarahilah ke kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat.” Riwayat Malik,
Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh mansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa mansukh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah “Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar” karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikh mansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa mansukh” karya Al-Atsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar adalah “Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar” karya Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
3.
Asbab
Wurud al-Hadits.
Teori ini
membahas tentang latar belakang datangnya sebuah hadits yang diterima oleh
seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti ungkapan Ilmu Asbab
al-Nuzuldalam Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak
membahas persesuaian (munasabat) antara satu matan hadits dengan matan
hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits
adalah Abu Hafsh al-’Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah “Al-Bayan
wa al-Ta\rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif” karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi
(w. 1120 H).
Nasikh
Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori Ilmu Hadits Dirayah yang
berdekatan sasaranya, dan saling menunjang dalam penerapan makna.
Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits
lebih dahulu. Hadits yang datang pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya
disebut nasikh. Dua teori itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika
nasikh mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis,
seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat
berkembang. Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan
pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya.
Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang
berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan
kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal
(maa fi al-hadits dan maahaul al-hadits).
Sistem
internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia
diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu
terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum
fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal
mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap,
yang dikandung oleh matan hadits.
Sedangkan
sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi
matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan
hadits, atau kejadian yang melatar belakangi tampilnya sebuah hadits, atau
jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu,
pemecahan sebuah hadits yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima
berdasarkan latarbelakang munculnya pemecahan itu.\
2.3
Sejarah
perkembangan Ilmu hadits Dirayah
Para peneliti hadits memperhatikan bahwa dasar-dasar Ilmu Hadist
Dirayah sudah terdapat sejak masa Nabi Muhammad, seperti yang diisyaratkan
dalam Al-Quran (QS. Al-Hujarat: 6)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Ayat
diatas memerintahkan kita untuk memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang
dibawa seorang fasik. Diperiksa untuk diverifikasi keobjektivitasnya dari
sumber berita tersebut.
Pada
mulanya memang membawa hadits tidak dipersyaratkan adanya sanad (sandaran
penyampaian berita), kerena mereka saling mempercayai kejujurannya. Akan
tetapi, setelah terjadinya konflik anteralit, yakni antara pendukung Ali dan
Muawwiyah, ummat menjadi terpecah kebeberapa sakte, mulailah terjadi pemalsuan
hadits, maka para ulama’ mempersaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat
hadits harus disertai dengan sanad . sebagaimana Ibn sirin yang dikutip dari
shahih muslim: artinya ”semulah mereka tidak ditanya tentang isnad. Akan
tetapi, tatkala terjadi fitnah, para ulama berkata: sebutkan kepada kami
para-para pembawa berita. Kemudian dilihat jika mereka ahli sunnah diambillah
hadist mereka dan mereka ahli bid’ah maka haditsnya ditinggalkan”.
Berdasarkan
penjelasan diatas, bahwa hadits tidak diterima kecuali disertai sanad, maka
dapat disimpulkan bahwa pada sa’at itu telah timbul pembicaraan periwayatan
mana yang tercelah dan mana yang adil (Ilmu Jahri Wata’dil), sanad mana
yang terputus (Munqoti’) dan mana yang bersambung (Muttasil), dan
cacat (‘Illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam taraf yang sederhana.
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan (Dhabit) kuat apa tidak, bagaimana metode menerima (Tahammul) dan menyampaikan (‘ada) hadits, nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-hadist) dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan dari mulut kemulut. Baru pada abad kedua hijriyah sampai abad ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri. Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang ditulis oleh as-Syafi’i, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab “al-Umm” dan “al-Ikhtilaf al-Hadits” karya as-Syafi’i (w.204 H).
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan (Dhabit) kuat apa tidak, bagaimana metode menerima (Tahammul) dan menyampaikan (‘ada) hadits, nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-hadist) dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan dari mulut kemulut. Baru pada abad kedua hijriyah sampai abad ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri. Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang ditulis oleh as-Syafi’i, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab “al-Umm” dan “al-Ikhtilaf al-Hadits” karya as-Syafi’i (w.204 H).
2.4
Faedah
Ilmul Hadits Dirayah
Faedah
mengetahui ilmul hadits dirayah (Ilmu Dirayah Hadits), ialah mengetahui
mana hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang harus kita terima
(yang maqbul) dan mana yang harus ditolak (yang mardud).
Kedua ilmu ini melangkapi satu sama lain. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing dari ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tidak lah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ilmu hadits dirayah; karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan kepada kita.
Kedua ilmu ini melangkapi satu sama lain. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing dari ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tidak lah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ilmu hadits dirayah; karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan kepada kita.
Ilmu
hadits dirayah terhadap matan hadits, sama dengan kedudukan tafsir terhadap
al-quran, atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. [12]
Pembahasan-pembahasan
yang berpautan dengan ilmu hadits ini, pada mula-mula tumbuh, banyak macamnya
yang diperkatakan dalam sesuatu kitab. Tetapi banyak masing-masing macam itu
mempunyai maudlu’ sendiri-sendiri, ghayah sendiri dan manhaj sendiri.
Dan semuanya itu dibicarakan sebagai suatu ilmu.
Tetapi
setelah berkembang usaha penyusunan kitab, barulah masing-masing ahli
memperkatakan sesuatu problema dari pembahasan-pembahasan ilmu hadits dan
menjadi banyaklah macamnya, yang masing-masingnya dibahas sendiri-sendiri. Namun
demikian semuanya itu dicakup oleh istilah ulumul hadits(ilmu-ilmu hadits).
Sebahagian ulama memakai istilah ’ushulul hadits ( qaidah-qaidah
hadits). [13]
Bahkan
ada yang menamakan musthalul hadits. Inilah nama-nama yang telah
diistilahkan para ulama untuk ‘ilmul hadits dirayah. Dan nama-nama itu
semuanya merupakan nama bagi sekumpulah kaidah dan masalah yang dengan ka’idah
dan masalah itu, kita mengetahui keadaan perawi-perawi dan keadaan-keadaan marwi.
[14]
Lantaran
inilah kita tidak boleh mencukupi dengan mempelajari lafadh hadist serta sanadnya
saja tanpa memperhatikan keadaan rawi, keadaan marwi dan pengistimbatan hukum
dari padanya. [15]
2.5
Kepentingan
IImu Hadist Dirayah
Ilmu ini menerangkan mana hadits yang shahih, mana yang dla’if,
mana yang marfu’, mana yang mauquf, mana yang maqbul dan
mana yang mardud.
Atas pengetahuan inilah kita bina pengistimbatan hukum. Ilmu ini (ilmu dirayah hadits) adalah suatu ilmu yang hanya dimiliki ummat islam. Dia benar-benar suatu ilmu yang bernilai tinggi yang disumbangkan ulama-ulama islam kepada kebudayaan manusia.
Atas pengetahuan inilah kita bina pengistimbatan hukum. Ilmu ini (ilmu dirayah hadits) adalah suatu ilmu yang hanya dimiliki ummat islam. Dia benar-benar suatu ilmu yang bernilai tinggi yang disumbangkan ulama-ulama islam kepada kebudayaan manusia.
Ilmu dirayah hadits tumbuh bersama-sama dengan tumbuh periwayatan
hadits, dia lahir sesudah Rasulullah saw. wafat, yaitu diketika para ulama Islam
memulai usaha mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan ke kota-kota Islam.
Maka dengan sendirinya para ulama berusaha membuat qaida-qaidah dan
munhaj-minhajyang harus dijadikan pedoman dalam menerima riwayat dan
menolaknya.
Para sahabat dan tabi’in mengikuti qaidah-qaidah ilmiah dalam
menerima hadits, walaupun mereka tidak menandaskan ka’idah ka’idah yang
dipegangi itu.
Kemudian ahli-ahli ilmu yang datang sesudah mereka, mengistimbatkan kaidah- kaidah dan masalah hadits dari cara yang telah ditempuh para sahabat, sebagaimana mereka mengistimbatkan syarat-syarat riwayat, jalan-jalan singkat, kaidah-kaidah Jarah dan Ta’dil.
Kemudian ahli-ahli ilmu yang datang sesudah mereka, mengistimbatkan kaidah- kaidah dan masalah hadits dari cara yang telah ditempuh para sahabat, sebagaimana mereka mengistimbatkan syarat-syarat riwayat, jalan-jalan singkat, kaidah-kaidah Jarah dan Ta’dil.
Ilmu riwayatil hadits dan
ilmu dirayatul hadits berjalan seiring, karena dimana ada periwayatan
hadits, tentulah ada kaidah dan minhaj yang dipakai dalam penukilan riwayat
itu.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dari
berbagai defenisi dari para ulama, dapat disimpulkan bahwa ilmu hadits
dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya. Adapun Faedah mengetahui ilmul hadits dirayah (‘ilmu
dirayah hadits), ialah mengetahui mana hadits yang disandarkan kepada rasul
saw yang harus kita terima (yang maqbul) dan mana yang harus ditolak
(yang mardud). Kedua ilmu ini melengkapi satu sama lain.. Mengingat hal
yang telah diterangkan, maka masing-masing dari ilmu ini memerlukan kepada yang
lain. Bahkan sebenarnya, tiadalah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila
tidak disertai ilmu hadits dirayah; karena dengan ilmu yang kedua ini,
kita dapat mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud dari
hadits-hadits yang disampaikan kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA
https://attanzil.wordpress.com/2008/08/05/ulumul-hadits/. Di unduh
pada tanggal 03 november 2015, 10.26
http://marcopangngewa.blogspot.co.id/2011/09/hadis-riwayah-dan
dirayah.html
http://lbm.mudimesra.com/2015/02/pembagian-ilmu-hadits-riwayah-dirayah.html
http://blog.umy.ac.id/wahyuprastiyani/2012/10/11/pembagian-ilmu-hadits-dan-cabangnya/,
Di unduh pada tanggal 03 11 2015 jam 10.19
[1]
Lihat al-Suyuthi., Tadrib al-Rawi., h. 40; Lihat juga al-Qasimi., Qawa’id
al-Tahdits., h.75
[2]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Elaborasi berasal dari kata
ela.bo.ra.si/elaborasi/ n 1 penggarapan secara tekun dam cermat: nilai filsafat
antropologi modern terletak dalam – dan pendalaman pengetahuan historis tentang
manusia
[3] Al-Suyuthi., Tadrib al-Rawi., h. 40.
[4]
Lihat M.M Azami.,
Studies ih Hadith Methologi and Literature., 16:
Mahmud al-thahhan., Taisir Mushthalah al-Hadist., h. 157-164
[5]
Menurut
KBBI Komprehensif/kom.pre.hen.sif/komprehensif/ a 1 bersifat mampu menangkap
(menerima) dengan baik; 2 luas dan lengkap (tentang ruang lingkup atau isi); 3
mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas.
[7]
Ibid.,
hal 8
[8] Urgensi adalah Keharusan yang mendesak; hal
sangat penting
[9] Ibid., h. 9
[10]
Ibid., h. 11, lihat juga Tadrib al-Rawi., h. 53
[11] Abu
‘Amr Ibn al-Shaleh., ‘Ulum al-Hadits., ed. Nur al-Din ‘Atr (Madinah: Maktabat
al-Ilmiyyah, 1972)., h. 5-10.
[12]
Baca: Mabahits fi’ulumil hadits., hal. 108
[13]
Baca: al -Kifayah, al-Jami ’li Akhlaqir rawi Wa Sami’ ikhtisar ‘ulumul hadits
dan baca Ushulul Hadits., hal.9
[14]
Baca: Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
[15] Baca:
al-Muhaddits al-Fashil Bainar rawi wal Wa’I tadzikiratul Huffadh
2: 336
makasih mas, ijin share dan copy, ya .semoga bermanfaat. by: dakwahsyariah.com
BalasHapus