BAB 1
FILSAFAT DAN
FILSAFAT ILMU
A.
FILSAFAT
1. Pengertian dan
Tugas Filsafat
Untuk memahami arti filsafat, secara
sederhana bisa dikembalikan kepada akar kata pembentuknya yang berasal dari
bahasa Yunani, yaitu kata Philo yang
berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat, dengan demikian
berarti cinta kepada kebijaksanaan. Pengertian ini, dalam batas-batas tertentu,
sangat menolong untuk memahami Filsafat Yunani, namun tidak banyak membantu
untuk mengidentifikasikan semua karya para filosuf sepanjang sejarah Barat yang
telah termanifestasikan dalam sistem-sistem aliran filsafat seperti
rasionalisme, realisme, empirisme, fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutik,
dan strukturalisme. Apa yang dinamakan dengan kebijaksanaan dalam tradisi
pemikiran filosofis Yunani adalah suatu
pemahaman atas “kebenaran-kebenaran pertama” (first truths), seperti baik, adil, dan kebenaran itu sendiri, serta
penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini dalam problem-problem kehidupan.
Tentang hal ini, bagaimanapun banyak filosuf yang kurang setuju atas pengertian
semacam ini. Mereka cenderung menolak
eksistensi dari first truths
ini, dan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran “teoretik” secara
keseluruhan dari pada sekedar perhatian kepada petunjuk moral atau tingkah
laku.
Barangkali untuk lebih membantu
dalam memahami pengertian filsafat, bisa melihatnya dari sisi tugas atau
aktivitas filsafat itu sendiri. Dalam konteks ini, tugas filsafat yang paling
fundamental adalah untuk menemukan konsep-konsep yang biasa kita gunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, lalu menganalisisnya dan
menentukan makna-makna yang tepat dan saling keterhubungannya. Dalam hal ini,
pengetahuan yang jelas dan akurat tentang sesuatu didahulukan atas hal-hal yang
secara umum masih kabur. Tidak adanya pengetahuan yang jelas tentang arti dan
hubungan-hubungan dari konsep-konsep yang kita gunakan, cepat atau lambat kita
tentu akan menggunakannya secara keliru atau kita akan mempunyai masalah-masalah
pengecualian dimana kita akan dibingungkan bagaimana cara menerapkannya secara
penuh. Sebagai contoh misalnya, kita semua sepakat atas tempat dimana sisir itu
diletakkan berdasarkan penglihatan kita. Tetapi ketika kita melihat bayangan
dari sisir itu di dalam cermin, maka timbul suatu pertanyaan apakah sisir itu
berada dalam cermin tersebut. Di sini kita mendapatkan persoalan yang cukup membingungkan, dan tidak
ada harapan dari jawabannya sehingga kita harus menganalisisnya secara
hati-hati apa yang kita maksudkan dengan “ada dalam tempat” (being in a place).
Tugas untuk menjelaskan arti dan
menentukan hubungan-hubungan dari konsep-konsep fundamental ini bisa diperluas
skopanya kepada ilmu pengetahuan yang lain. Ilmu Kimia menggunakan ide tentang
substansi, Geometri tentang ruang, dan Ilmu Mekanika tentang gerak. Semua ilmu
itu mengasumsikan bahwa kita telah mengetahui apa yang dinamakan dengan
substansi, ruang, dan gerak. Kalaupun dalam kenyataannya kita belum memahami
secara pasti akan arti dari konsep-konsep tersebut sehingga kita bekerja dalam
cara yang tidak jelas, maka hal itu bukan urusan ilmu-ilmu tersebut untuk
memasuki arti dan hubungan-hubungan dari konsep-konsep yang sedemikian rupa
itu. Tentu saja ilmu-ilmu khusus itu bekerja dalam ukuran-ukurannya untuk
menjelaskan arti dari konsep-konsep yang digunakan. Seorang kimiawan, dengan
pembedaannya antara elemen dan bahan campuran dan hukum-hukum kombinasi,
mempunyai ide tentang substansi yang lebih jelas dari pada orang awam. Tetapi
ilmu-ilmu khusus itu hanya mendiskusikan arti dari konsep-konsepnya sejauh ini
dibutuhkan untuk tujuan khususnya. Diskusi semacam itu baginya bersifat
insidental. Sementara itu, masalah ini merupakan esensi dari filsafat yaitu
yang berkenaan dengan pertanyaan yang menjadi kepentingannya. Ilmu Kimia dan
Fisika tidak seperti Filsafat Kimia dan Filsafat Fisika. Oleh karena itu,
bagaimanapun juga, konsep-konsep seperti substansi, gerak, dan ruang yang
sering digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut memerlukan kerja analisis filsafat dalam
menemukan arti-artinya secara tepat dan mendalam.[1]
Di samping tugas ini, filsafat
mempunyai tugas lain yang masih berhubungan erat dengannya. Kita mempunyai
sejumlah keyakinan yang tidak terkritisi yang berada dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam ilmu pengetahuan. Misalnya, secara konstan kita
mengasumsikan bahwa setiap kejadian mempunyai sebab, dan bahwa alam itu tunduk
pada hukum-hukum yang sama serta keyakinan-keyakinan lainnya. Sekarang ilmu
mengambil alih keyakinan-keyakinan ini tanpa memberikan kritik, dan malahan
bekerja dengannya. Keyakinan-keyakinan yang sudah mendalam ini, kalau
dipikirkan lebih mendalam, bisa jadi hanya sekedar prasangka-prasangka saja,
dan ini perlu dikritisi lebih mendalam. Oleh karena itu, tugas filsafat adalah
untuk mengungkapkannya secara jelas, dan ini hanya dapat dikerjakan ketika kita
sudah menganalisis dan mendefinisikan konsep-konsep yang tercakup di dalamnya,
sehingga kita mengetahui dengan pasti apa yang dimaksud dengan “sebab”,
“perubahan”, dan sebagainya. Tugas filsafat selanjutnya adalah menguji
keyakinan-keyakinan semacam itu, dan ini hanya dapat dikerjakan dengan
membongkarnya secara tegas dan sungguh-sungguh sehingga tidak ada lagi yang
perlu diragukan.
Tugas-tugas filsafat inilah yang
sering disebut sebagai Filsafat Kritik, yaitu analisis dan definisi dari
konsep-konsep fundamental kita, dan pernyataan yang jelas serta kritik yang
tegas atas keyakinan-keyakinan fundamental kita.[2]
Selain itu ada bentuk filsafat lain
yang biasa disebut Filsafat Spekulatif. Untuk menyelidiki hasil-hasil dari ilmu
dan seni, kadang-kadang mencakup juga common sense dan teologi, para filosuf
menggunakan filsafat ini untuk mengembangkan visi atau gambaran dari alam
secara komprehensif. Dan karena usaha konstruktif ini sering mentransendensikan
ilmu atau disiplin-disiplin yang lebih khusus, maka biasanya hal itu dicapai
dengan spekulasi, ketimbang menggunakan metode-metode analitik.[3]
Di samping kedua bentuk filsafat
tersebut dengan masing-masing tugasnya, ada kerangka kerja filsafat lain, yaitu aktivitas fenomenologis dan
normatif-evaluatif. Yang pertama untuk mencari suatu deskripsi yang komplit dan
esensial serta tidak bias dari pengalaman-pengalaman dasar kita atau
prasangka-prasangka kita dengan menggunakan disiplin-disiplin metodik yang
tegas dan jelas. Sedang yang terakhir, para filosuf mencoba beraksi dalam
rangka memberikan kritik terhadap perilaku-perilaku (moral) individu dan sosial
untuk dinilai dan diarahkan kepada yang lebih baik.[4]
Dari penjelasan tentang tugas atau
kerangka kerja filsafat ini, selanjutnya pengertian filsafat dapat dijabarkan
lebih mendalam. Dalam hal ini, paling tidak ada lima pengertian yang barangkali
ada sementara filosuf kurang sependapat dengannya, yaitu :
1.
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
Definisi ini merupakan arti yang informal tentang filsafat. Orang awam biasanya
memahami filsafat seperti ini. Filsafat dianggap sebagai sikap atau kepercayaan
yang ia miliki.
2.
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
Pengertian filsafat ini merefleksikan bentuk atau tugas dari Filsafat Kritik,
khususnya dalam mengkritisi keyakinan-keyakinan dalam kehidupan kita
sehari-hari.
3.
Filsafat adalah usaha
untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Inilah yang menjadi tugas dari Filsafat Spekulatif
dalam usahanya mentransendensikan pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan
dalam visi atau gambaran yang komprehensif.
4.
Filsafat adalah sebagai
analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan konsep. Pengertian ini termasuk
dalam kategori kerja Filsafat Kritik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bahwa filsafat mempunyai tugas menganalisis konsep-konsep seperti substansi,
gerak, waktu, dan sebagainya.
5.
Filsafat adalah sekumpulan
problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Pengertian ini pada prinsipnya berada dalam pemikiran
para filosuf dalam rangka menjawab berbagai problematika kehidupan dan tentunya
terus berlangsung tanpa mengenal titik lelah.[5]
2.
Cabang-cabang Filsafat
a.
Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut
dapat diambil kesimpulan yang benar.[6] Atau
bisa dikatakan juga bahwa logika adalah
pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan untuk menguatkan premis-premis
atau sebab-sebab mengenai konklusi dimana aturan-aturan itu dapat kita pakai
untuk membedakan argumen yang baik dari argumen yang tidak baik.[7]
Logika dibagi dalam dua
cabang utama, logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif
berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat dipergunakan untuk menarik
kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premise tertentu atau
lebih. Sedang logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari
susunan proposisi-proposisi melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang
diamati. Logika ini mencoba untuk bergerak dari suatu perangkat fakta yang
diamati secara khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai
semua fakta yang bercorak demikian, atau bergerak dari suatu perangkat akibat
tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut.[8]
Dalam logika,
pertanyaan-pertanyaan fundamental yang hendak dijawab adalah: Apakah aturan-aturan
bagi penyimpulan yang sah ? Apakah ukuran-ukurannya bagi hipotesa yang baik ?
Apakah corak-corak penalaran yang logis itu ? Apakah yang menyebabkan
tersusunnya sebuah definisi yang baik ?, dan sebagainya.
b.
Ontologi
Ontologi atau sering juga disebut metafisika
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang
ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang berada di belakang
pengalaman yang langsung (immediate
experience).[9]
Bagi Aristoteles istilah metafisika berarti filsafat pertama (first philosophy). Istilah “pertama”
tidak berarti bahwa bagian filsafat ini harus ditempatkan di depan, tetapi
menunjukkan kepada kedudukan atau pentingnya. Filsafat pertama menyelidiki
pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan
manusia, yang mendasari segala macam pengetahuan dan segala usaha filsafat
lainnya.[10]
Karena ontologi itu berbicara tentang segala
hal yang ada, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan dibongkarnya menjadi tidak
terbatas, misalnya, apakah hakikat ruang, waktu, gerak, materi, dan perubahan
itu ? Apakah yang merupakan asal
mula jagad raya ini ? Apakah jiwa dan badan itu ? dan lain sebagainya.
c.
Epistemologi
Yaitu cabang filsafat yang menyelidiki asal mula,
susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar adalah:
Apakah mengetahui itu ? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita ? Bagaimanakah cara kita
mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan ? Bagaimanakah cara kita membedakan
antara pengetahuan dengan pendapat ? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan
itu ? Corak-corak pengetahuan apakah yang ada ? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan ? Apakah
kebenaran dan kesesatan itu ? Apakah
kesalahan itu ?.[11]
d. Etika
Kata etika digunakan dalam tiga hal yang
berbeda tetapi memiliki hubungan antara yang satu dengan lainnya. Pertama, etika berarti suatu pola umum
atau way of life seperti etika
Budhist atau etika Kristen. Kedua, etika berarti
seperangkat aturan-aturan tingkah laku atau moral
code, seperti profesi. Ketiga, etika berarti penyelidikan mengenai way of life atau aliran-aliran tingkah
laku. Dalam pengertian yang terakhir inilah etika merupakan cabang filsafat
yang biasa disebut sebagai meta-etika.[12]
Sebagai salah satu wilayah kajian filsafat,
etika yang juga dipadankan dengan filsafat moral, lebih menekankan pada upaya
pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, problem moral dan pertimbangan moral.[13]
Dengan demikian, etika sebagai salah satu domain kajian filsafat tidak hanya
berkaitan dengan pengetahuan tentang baik
dan buruk atau berkaitan dengan sisi normatif suatu tingkah laku saja,
akan tetapi etika juga mencakup analisis-konseptual mengenai hubungan yang
dinamis antara manusia sebagai subyek yang aktif dengan pikiran-pikirannya
sendiri, dengan dorongan dan motivasi dasar tingkah lakunya, maupun dengan
cita-cita dan tujuan hidupnya serta perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal etika ini, pertanyaan-pertanyaan yang
hendak dicarikan jawabannya adalah: Apakah yang menyebabkan suatu perbuatan
yang baik itu adalah baik ? Bagaimana cara kita melakukan pilihan di antara hal-hal
yang baik ? Apakah yang dimaksud dengan kebaikan, keadilan, kejujuran, dan
kebahagiaan ?, dal lain sebagainya.
e.
Estetika
Estetika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan para filosuf adalah: Apakah keindahan
itu ? Apakah hubungan antara yang indah degan yang benar (epistemologi) dan
yang baik (etika)? Apakah ada ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu
karya seni dalam arti yang obyektif ? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita
? Apakah seni itu sendiri ? Apakah seni itu hanya sekedar reproduksi alam,
kodrat belaka, ataukah suatu ungkapan perasaan seseorang, ataukah suatu
penglihatan ke dalam kenyataan terdalam ?.[14]
Masing-masing dari cabang filsafat ini pada
dasarnya tidak bisa dipisahkan secara tegas. Pemilahan itu hanya sekedar
pemetaan wilayah kajian, yang pada intinya apapun persoalan yang ada dalam
kehidupan ini saling terkait secara ketat dalam lingkaran cabang-cabang
filsafat ini. Sebagai contoh misalnya, kita mengajukan persoalan yang bersifat
kesusilaan sebagai berikut: Apakah manusia bertanggungjawab atas perbuatannya
?. Dengan segera muncul dihadapan kita sejumlah pertanyaan yang harus
dijelaskan terlebih dahulu, bahkan sebelum pertanyaan itu diberi jawaban yang
bersifat sementara. Apakah manusia itu ? Ini merupakan pertanyaan antropologi
kefilsafatan. Apakah perbuatan-perbuatannya itu ? Ini menyangkut pertanyaan
tentang sebab-akibat, dan karenanya merupakan pertanyaan tentang hakikat
kenyataan. Bagaimanakah caranya untuk dapat menentukan hal-hal yang merupakan
perbuatannya ? Pertanyaan ini berkaitan dengan metode. Dan demikianlah seterusnya.
Dari adanya saling keterhubungan ini, masalah yang memerlukan jawaban secara
filosofis tidak serta merta harus dijawab “ya” atau “tidak” dengan tegas. Akan
tetapi pertanyaan-pertanyaan filosofis itu biasanya memerlukan jawaban “ya” atau “tidak” dengan pertimbangan jika, tatapi, barangkali, atau sebaiknya.[15]
B. FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu
adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakikat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Filsafat ilmu merupakan upaya untuk mencari kejelasan mengenai
dasar-dasar konsep, sangka wacana (presupposition) dan postulat mengenai
ilmu. Filsafat ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh
ilmu tertentu.[16]
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang
secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu atau
pengetahuan ilmiah dalam bahasa Inggris science, dalam bahasa Yunani episteme.
Filsafat ilmu menurut Mohar seperti yang dikutip oleh Andi Hakim Nasoetion
(1999: 27) ialah suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas menuju
penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Sasaran filsafat ilmu
adalah mengadakan penataan dan pengetahuan atas dasar asas-asas yang dapat
menerangkan terjadinya ilmu pengetahuan.[17]
Filsafat ilmu melakukan analisis terhadap ilmu pengetahuan dan cara
bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu merupakan
penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya.
Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience
(Adi-ilmu), dan science of science (ilmu tentang ilmu).
Namun sebenarnya berbicara mengenai filsafat ilmu sulit untuk
memberikan suatu batasan yang positif. Banyak pendapat yang memiliki makna
serta penekanan yang berbeda tentang filsafat ilmu. Menurut Prof. Dr. Conny R.
Semiawan, dkk. (1988) untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu
sangat bermanfaat untuk menyimak empat titik pandang di dalam filsafat ilmu,
yaitu sebagai berikut.
1.
Pandangan yang
menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world-views yang
didasarkan atas teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini,
merupakan tugas dari filsuf ilmu untuk mengelaborasikan implikasi yang lebih
luas dari ilmu.
2.
Pandangan yang
mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presuppositions
dan predispositions dari para ilmuan. Filsuf ilmu mungkin
mengemukakan bahwa para ilmuan menduga bahwa alam tidak berubah-ubah, dan
terdapat suatu keteraturan di alam sehingga gejala alam yang tidak begitu
kompleks cukup didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin tidak
menutupi keinginan deterministik para ilmuan lebih dari hukum statistik, atau
pandangan mekanistik lebih dari penjelasan teleologis. Pandangan ini cenderung
mengasimilasikan filsafat ilmu dengan
sosiologi.
3.
Pandangan yang
mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu disiplin yang di dalamnya konsep
dan teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan. Hal ini berarti
memberikan kejelasan tentang makna dari berbagai konsep seperti partikel,
gelombang, potensial, dan kompleks di dalam pemanfaatan ilmiahnya.
4.
Pandangan yang
menyebutkan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua (scond-order-criteriology).
Filsuf ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan berikut. a)
Karaktristik-karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe
penyelidikan lain? b) Prosedur yang bagaimana yang patut dituruti oleh para
ilmuan dalam menyelidiki alam? c) Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai
bagi suatu penjelasan ilmaih agar menjadi benar? d) Status kognitif yang
bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum ilmiah? Berdasarkan pertanyaan
itu, terdapat perbedaan yang dapat dirumuskan antara doing science dan thinking
tentang bagaimana ilmu harus dilakukan.[18]
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik yang
lain, seperti filsafat pengetahuan (hakikat serta otentisitas pengetahuan),
ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan) dan filsafat kesusilaan
(nilai-nilai serta tanggung jawab).[19]
Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan
cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan
suatu penyelidikan lanjutan. Karena apabila para penyelenggara berbagai ilmu
melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang berjenis
khusus dari masing-masing ilmu itu sendiri, maka orang pun dapat melakukan
penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut. Dengan
mengalihkan perhatian dari obyek-obyek yang sebenarnya dari penyelidikan ilmiah
kepada proses penyelidikannya sendiri, maka muncullah suatu matra baru.
Segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan menjadi tampak.
Berangkat dari sini, menjadi jelas pula saling hubungan antara obyek-obyek dan
metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan
penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan
secara ilmiah. Dan memang filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara
mendalam yang bersifat lanjutan (secondary reflexion).[20]
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut
hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah, seperti:
1. Implikasi ontologik-metafisik dari citra
dunia yang bersifat ilmiah.
2. Tata susila yang menjadi pegangan
penyelenggara ilmu.
3. Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara
ilmu dan sebagainya.
b.
Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan
dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut
sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan
ilmiah. (Beerling, 1988)
Untuk mendapat gambaran singkat tentang
pengertian filsafat ilmu dapatlah kiranya dirangkum tiga medan telaah yang
tercakup di dalam filsafat ilmu. Ketiganya itu adalah sebagai berikut.
1.
Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan
oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur
penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat
diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional, juga untuk membahas
studi bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, geologi, dan
sebagainya. Dalam hubungan ini yang terutama sekali ditelaah adalah ihwal
penalaran dan teorinya.
2.
Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar
konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir
dasar-dasar keempirisan, kerasionalan, dan kepragmatisan. Aspek filsafat ini
erat hubungannya dengan hal ihwal yang logis dan epistemologis. Jadi, peran
filsafat ilmu di sini berganda. Pada sisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisis
kritis terhadapan anggapan dasar, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang,
dan hukum. Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencakup studi mengenai keyakinan
tertentu, seperti keyakinan mengenai dunia ‘sana’, keyakinan mengenai
keserupaan di dalam alam semesta, dan keyakinan mengenai kenalaran
proses-proses alami.
3.
Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang
beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu
tertentu.[21]
Tempat kedudukan filsafat ilmu di dalam
lingkungan filsafat sebagai keseluruhan bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Being
(ada)
|
Knowing
(tahu)
|
Axiologi
(nilai)
|
Ontologi
|
Epistemologi
|
Etika
|
Metafisika
|
Logika dan metodologi
|
Estetika
|
|
Filsafat Ilmu
|
|
Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan
filsafat ilmu sebagai berikut:
1.
Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat
dengan epistemologi yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat-syarat pengetahuan
manusia dan bentuk-bentuk pengetahuan manusia.
2.
Menyangkut cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam
bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan susunan logis dan metodologis
serta tata urutan berbagai langkah dan unsur yang terdapat dalam kegiatan
ilmiah pada umumnya.
Baik bidang pertama dan kedua di atas
dibahas dalam filsafat ilmu umum. Adapun dalam filsafat ilmu khusus
membicarakan kategori serta metode yang digunakan dalam ilmu atau dalam
kelompok ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu
teknik, dan sebagainya.[22]
Di samping itu, dilihat dari segi katanya
filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan
ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik
khusus, namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud
dengan filsafat ilmu, maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan
memberi makna khusus tentang istilah tersebut.
Para ahli telah banyak mengemukakan
definisi filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut
pandang tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna
filsafat ilmu, antara lain:
1.
The philosophy of
science is a part of philosophy which attempts to do for science what
philosophy in general does for the whole of human experience (Peter Caws).
2.
The philosophy of
science attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry-observational procedures, patterns of argument, methods of
representation and calculation, metaphysical presupposition, and so on, and
then to evaluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical
methodology and metaphysics (Steven R. Toulmin).
3.
Philosophy of science
questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to
determine the value and significance of scientific enterprise as a whole (L.
White Beck).
4.
Philosophy of
science...that philosophic discipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presupposition,
and its place in the general scheme of intelectual discipline (A.C. Benyamin).
5.
Philosophy of
science...the study of the inner logic of scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael V.
Berry).
Pengertian-pengertian
di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa ahli tentang makna filsafat
ilmu. Peter Caw memberikan makna
filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam
kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven
R. Toulmin memaknai filsafat
ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan
anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut
pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika.
White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode
ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah
kajian atas metode ilmiah juga dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu
logika teori ilmiah serta hubungan
antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat
ilmu di samping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin
intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat
ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal
yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah
kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian
di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka
yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta science,
methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya
menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada
dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .
Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba
mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya.
Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal
terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu
disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana
cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk
membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja
(taken for granted).
Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan
ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara
mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu,
apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :
|
|
|
Bertanya
Gambar 4.1. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu
makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan
yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk
menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal
atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam
batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau
interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu. Oleh
karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang
pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada
filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam
secara dangkal.[23]
Untuk melihat urgensinya kajian filsafat bagi umat Islam baik hari ini
maupun masa depan, maka kita bisa menengok himbauan ilmuan besar Muslim
Pakistan, Fazlur Rahman:
“Philosophy is however a perennial intellectual need and has to be
allowed to flourish both for is own sake and for the sake of other disciplines,
since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates new
ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for
religion and theology. Therefore a people that deprives it self of philosophy
necessarily expose it self to starvation in terms of fresh ideas-in fact it
commits intellectual suicide”.[24]
Terjemahan bebasnya ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai
berikut:
“Bagaimanapun juga filsafat adalah alat
intelektual yang senantiasa diperlukan dan karena itulah filsafat harus
berkembang secara alamiah baik untuk kepentingan perkembangan filsafat itu
sendiri maupun untuk pengembangan disipilin-disiplin keilmuan yang lain. Hal
demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih
akal-pikiran untuk bersikap kritis-analistis dan mampu melahirkan ide-ide segar
yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual
yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan
teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan
akan mengalami kekurangan energi dan lesu darah, dalam arti kekurangan ide-ide
segar , dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual”.[25]
C. MANFAAT FILSAFAT ILMU
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat
ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuan
akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap
arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri
di kalangan ilmuan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan
seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.[26]
Berfilsafat itu penting, sebab dengan
berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk berpikir, bersikap
dan bertindak secara sadar dalam menghadapi berbagai gejala
peristiwa yang timbul dalam alam dan masyarakat. Kesadaran itu akan membuat
seseorang tidak mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh timbulnya
gejala-gejala, peristiwa, dan masalah yang dihadapi.
Untuk dapat berfilsafat, manusia harus
belajar filsafat dengan cara yang benar, yaitu orang harus mengetahui dan
memahami ajarannya secara ilmu, artinya mempelajari aliran-aliran filsafat,
kemudian memadukan pengertian itu dengan praktek. Selanjutnya mengambil
pengalaman dari praktek, dan kemudian menyimpulkan praktek secara ilmu.
Berfilsafat berarti berpikir, bersikap
dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk menjelaskan secara rasional
gejala-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap dan dihadapi. Berfilsafat
tidak bersikap dan bertindak secara tradisi, kebiasaan, adat-istiadat, dan
naluri, tetapi bersikap dan bertindak kritis, mencari sebab, mencari isi, dan
mencari hakikat gejala-gejala alam dan sosial.
Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja, tetapi mengubah
nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan.[27]
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
yang membicarakan tentang hakikat ilmu secara umum mengandung manfaat sebagai
berikut.
1.
Filsafat ilmu
sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis
terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuan harus memiliki sikap kritis
terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap
solipsistik, yakni menganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
2.
Filsafat ilmu
merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan.
Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuan merupakan suatu metode
ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap
yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan
struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya.
3.
Filsafat ilmu
memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang
dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar
dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Implikasi mempelajari
filsafat ilmu adalah sebagai berikut:
1.
Bagi seseorang
yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai
tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya para ilmuan memiliki
landasan berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuan sosial perlu mempelajari
ilmu-ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula seorang ahli ilmu kealaman
perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang ilmu-ilmu sosial.
Dengan demikian antara ilmu yang satu dengan lainnya saling menyapa, bahkan
dimungkinkan terjalinnya kerja sama yang harmonis untuk memecahkan
persoalan-persoalan kemanusiaan.
2.
Menyadarkan
seorang ilmuan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni
hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang
ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat
dilepaskan dari konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan.[28]
Dengan belajar filsafat ilmu, kita akan
mengetahui pengertiannya, obyek-obyeknya, dan seluk beluk filsafat ilmu itu
sendiri, memberikan pengetahun tentang sumber-sumber pengetahuan dan
kebenarannya, menambah ketajaman berfikir dalam memahami masalah dan senantiasa
dikaji secara rasional, sistematis dan logis, melatih berfikir secara mendalam,
menyeluruh dan mendasar (radikal), mengasah otak melalui kontemplasi pemikiran
terhadap yang rasional dan metafisikal.[29]
Secara umum mengkaji filsafat ilmu akan memberikan manfaat
sebagai berikut:
1.
Dengan belajar
filsafat ilmu, kita akan mengetahui pengertiannya, obyek-obyeknya, dan
seluk-beluk filsafat ilmu itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa orang yang tidak
pernah belajar filsafat ilmu, tidak akan mengetahui seluk-beluknya.
2.
Memberikan
pengetahuan tentang sumber-sumber pengetahuan dan kebenarannya.
3.
Menambah
ketajaman berfikir dalam memahami masalah senantiasa dikaji secara rasional,
sistematis dan logis.
4.
Mengarahkan
manusia untuk mengakui secara arif bahwa ilmu pengetahuan itu kebenarannya
relatif, sehingga setiap pemikiran memiliki nilai kebenarannya masing-masing.
5.
Melatih
berpikir mendalam dan radikal.
6.
Dapat memahami
filsafat dan mengantarkan orang yang belajar filsafat untuk menjadi “filsuf”.
7.
Mengasah otak
melalui kontemplasi pemikiran terhadap yang rasional dan metafisikal.[30]
DAFTAR PUSTAKA
C.D. Broad, The Main Tasks of Philosophy,
dalam Titus, Hepp, dan Smith, The Range
of Philosophy, U.S.A: Litton Educational Publishing, Inc., 1975.
Robert N. Beck,
Handbook In Social Philosophy, New
York : Macmillan Publishing Co., Inc.
Titus, Smith,
dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat,
Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Paul Edwards
(Ed.), The Encyclopedia of Philosophy,
New York: Macmillan Publishing Co. Inc, and The Free Press, 1967.
Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj.
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.
Anton Bakker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada
Dan Dasar-dasar Kenyataan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.
William
Frankena, Ethics, New Jersey:
Prentice Hall, 1973.
Sembodo Ardi Widodo, Handout
Filsafat Ilmu, Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2013.
Aceng Rachmat (Ed.)., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011.
Surajiyo, Filsafat
Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Beerling, Kwee,
Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Alih Bahasa Soejono
Soemargono, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1990.
Uhar
Suharsaputra, Filsafat Ilmu Jilid I, Universitas Kuningan, 2004.
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity, Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Zaprulkhan, Filsafat
Umum Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012.
Darsono
Prawironegoro, Filsafat Ilmu Kajian Tentang Pengetahuan Yang Disusun Secara
Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Nusantara Consulting, 2010.
Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Ilmu :Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu
Pengetahuan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
[1] C. D. Broad, The Main Tasks of Philosophy, dalam Titus, Hepp, dan Smith,
The Range of Philosophy, (U.S.A: Litton
Educational Publishing, Inc., 1975), p. 8.
[2] Ibid., p. 9.
[3] Robert N.
Beck, Handbook In Social Philosophy,
(New York : Macmillan Publishing Co., Inc,), p. 2.
[4] Ibid.
[5] Keterangan
lebih lanjut bisa dibaca, Titus, Smith, dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1984), p. 11-14.
[6] Paul Edwards
(Ed.), The Encyclopedia of Philosophy,
(New York: Macmillan Publishing Co. Inc, and The Free Press, 1967), p. 155.
[7] Titus, Smith,
dan Nolan, Persoalan…, p. 18.
[8] Lihat, Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), p. 72.
[9] Titus, Smith,
dan Nolan, Persoalan…, p. 20.
[10] Anton Bakker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada
Dan Dasar-dasar Kenyataan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), p. 14.
[11] Louis O,
Kattsoff, Pengantar Filsafat, p. 76.
[12] Paul Edwards
(Ed.), The Encyclopedia…, p. 81-82.
[13] William
Frankena, Ethics, (New Jersey:
Prentice Hall, 1973), p. 5-6.
[14] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, p. 81
[15] Ibid., p. 83.
[16] Sembodo Ardi
Widodo, Handout Filsafat Ilmu, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013.
[17]Aceng Rachmat, et
al., Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
hlm. 109
[18] Surajiyo, Filsafat
Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm.
45-46
[19] Beerling,
Kwee, Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Alih Bahasa Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. xii
[23] Uhar
Suharsaputra, Filsafat Ilmu Jilid I, (Universitas Kuningan, 2004), hlm.
92-95
[24] Fazlur Rahman,
Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982),
hlm. 157-158
[25] Zaprulkhan, Filsafat
Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012),
hlm. 89
[26]Surajiyo, Filsafat
Ilmu …, hlm. 51
[27] Darsono
Prawironegoro, Filsafat Ilmu Kajian Tentang Pengetahuan Yang Disusun Secara
Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:
Nusantara Consulting, 2010), hlm. 23-24
[30] Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Ilmu :Kontemplasi
Filosofis Tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2009), hlm 42-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar