EVA

Jangan sengaja pergi agar dicari, Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu

Sabtu, 05 Desember 2015

FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU




BAB 1
FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

A. FILSAFAT
1.      Pengertian dan Tugas Filsafat
Untuk memahami arti filsafat, secara sederhana bisa dikembalikan kepada akar kata pembentuknya yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata Philo yang berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat, dengan demikian berarti cinta kepada kebijaksanaan. Pengertian ini, dalam batas-batas tertentu, sangat menolong untuk memahami Filsafat Yunani, namun tidak banyak membantu untuk mengidentifikasikan semua karya para filosuf sepanjang sejarah Barat yang telah termanifestasikan dalam sistem-sistem aliran filsafat seperti rasionalisme, realisme, empirisme, fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutik, dan strukturalisme. Apa yang dinamakan dengan kebijaksanaan dalam tradisi pemikiran filosofis Yunani  adalah suatu pemahaman atas “kebenaran-kebenaran pertama” (first truths), seperti baik, adil, dan kebenaran itu sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini dalam problem-problem kehidupan. Tentang hal ini, bagaimanapun banyak filosuf yang kurang setuju atas pengertian semacam ini. Mereka cenderung menolak  eksistensi dari first truths ini, dan lebih meyakini filsafat sebagai pemikiran “teoretik” secara keseluruhan dari pada sekedar perhatian kepada petunjuk moral atau tingkah laku.
Barangkali untuk lebih membantu dalam memahami pengertian filsafat, bisa melihatnya dari sisi tugas atau aktivitas filsafat itu sendiri. Dalam konteks ini, tugas filsafat yang paling fundamental adalah untuk menemukan konsep-konsep yang biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, lalu menganalisisnya dan menentukan makna-makna yang tepat dan saling keterhubungannya. Dalam hal ini, pengetahuan yang jelas dan akurat tentang sesuatu didahulukan atas hal-hal yang secara umum masih kabur. Tidak adanya pengetahuan yang jelas tentang arti dan hubungan-hubungan dari konsep-konsep yang kita gunakan, cepat atau lambat kita tentu akan menggunakannya secara keliru atau kita akan mempunyai masalah-masalah pengecualian dimana kita akan dibingungkan bagaimana cara menerapkannya secara penuh. Sebagai contoh misalnya, kita semua sepakat atas tempat dimana sisir itu diletakkan berdasarkan penglihatan kita. Tetapi ketika kita melihat bayangan dari sisir itu di dalam cermin, maka timbul suatu pertanyaan apakah sisir itu berada dalam cermin tersebut. Di sini kita mendapatkan  persoalan yang cukup membingungkan, dan tidak ada harapan dari jawabannya sehingga kita harus menganalisisnya secara hati-hati apa yang kita maksudkan dengan “ada dalam tempat” (being in a place).
Tugas untuk menjelaskan arti dan menentukan hubungan-hubungan dari konsep-konsep fundamental ini bisa diperluas skopanya kepada ilmu pengetahuan yang lain. Ilmu Kimia menggunakan ide tentang substansi, Geometri tentang ruang, dan Ilmu Mekanika tentang gerak. Semua ilmu itu mengasumsikan bahwa kita telah mengetahui apa yang dinamakan dengan substansi, ruang, dan gerak. Kalaupun dalam kenyataannya kita belum memahami secara pasti akan arti dari konsep-konsep tersebut sehingga kita bekerja dalam cara yang tidak jelas, maka hal itu bukan urusan ilmu-ilmu tersebut untuk memasuki arti dan hubungan-hubungan dari konsep-konsep yang sedemikian rupa itu. Tentu saja ilmu-ilmu khusus itu bekerja dalam ukuran-ukurannya untuk menjelaskan arti dari konsep-konsep yang digunakan. Seorang kimiawan, dengan pembedaannya antara elemen dan bahan campuran dan hukum-hukum kombinasi, mempunyai ide tentang substansi yang lebih jelas dari pada orang awam. Tetapi ilmu-ilmu khusus itu hanya mendiskusikan arti dari konsep-konsepnya sejauh ini dibutuhkan untuk tujuan khususnya. Diskusi semacam itu baginya bersifat insidental. Sementara itu, masalah ini merupakan esensi dari filsafat yaitu yang berkenaan dengan pertanyaan yang menjadi kepentingannya. Ilmu Kimia dan Fisika tidak seperti Filsafat Kimia dan Filsafat Fisika. Oleh karena itu, bagaimanapun juga, konsep-konsep seperti substansi, gerak, dan ruang yang sering digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut memerlukan kerja analisis filsafat dalam menemukan arti-artinya secara tepat dan mendalam.[1]
Di samping tugas ini, filsafat mempunyai tugas lain yang masih berhubungan erat dengannya. Kita mempunyai sejumlah keyakinan yang tidak terkritisi yang berada dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam ilmu pengetahuan. Misalnya, secara konstan kita mengasumsikan bahwa setiap kejadian mempunyai sebab, dan bahwa alam itu tunduk pada hukum-hukum yang sama serta keyakinan-keyakinan lainnya. Sekarang ilmu mengambil alih keyakinan-keyakinan ini tanpa memberikan kritik, dan malahan bekerja dengannya. Keyakinan-keyakinan yang sudah mendalam ini, kalau dipikirkan lebih mendalam, bisa jadi hanya sekedar prasangka-prasangka saja, dan ini perlu dikritisi lebih mendalam. Oleh karena itu, tugas filsafat adalah untuk mengungkapkannya secara jelas, dan ini hanya dapat dikerjakan ketika kita sudah menganalisis dan mendefinisikan konsep-konsep yang tercakup di dalamnya, sehingga kita mengetahui dengan pasti apa yang dimaksud dengan “sebab”, “perubahan”, dan sebagainya. Tugas filsafat selanjutnya adalah menguji keyakinan-keyakinan semacam itu, dan ini hanya dapat dikerjakan dengan membongkarnya secara tegas dan sungguh-sungguh sehingga tidak ada lagi yang perlu diragukan.
Tugas-tugas filsafat inilah yang sering disebut sebagai Filsafat Kritik, yaitu analisis dan definisi dari konsep-konsep fundamental kita, dan pernyataan yang jelas serta kritik yang tegas atas keyakinan-keyakinan fundamental kita.[2]
Selain itu ada bentuk filsafat lain yang biasa disebut Filsafat Spekulatif. Untuk menyelidiki hasil-hasil dari ilmu dan seni, kadang-kadang mencakup juga common sense dan teologi, para filosuf menggunakan filsafat ini untuk mengembangkan visi atau gambaran dari alam secara komprehensif. Dan karena usaha konstruktif ini sering mentransendensikan ilmu atau disiplin-disiplin yang lebih khusus, maka biasanya hal itu dicapai dengan spekulasi, ketimbang menggunakan metode-metode analitik.[3]
Di samping kedua bentuk filsafat tersebut dengan masing-masing tugasnya, ada kerangka kerja filsafat  lain, yaitu aktivitas fenomenologis dan normatif-evaluatif. Yang pertama untuk mencari suatu deskripsi yang komplit dan esensial serta tidak bias dari pengalaman-pengalaman dasar kita atau prasangka-prasangka kita dengan menggunakan disiplin-disiplin metodik yang tegas dan jelas. Sedang yang terakhir, para filosuf mencoba beraksi dalam rangka memberikan kritik terhadap perilaku-perilaku (moral) individu dan sosial untuk dinilai dan diarahkan kepada yang lebih baik.[4]
Dari penjelasan tentang tugas atau kerangka kerja filsafat ini, selanjutnya pengertian filsafat dapat dijabarkan lebih mendalam. Dalam hal ini, paling tidak ada lima pengertian yang barangkali ada sementara filosuf kurang sependapat dengannya, yaitu :
1.      Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini merupakan arti yang informal tentang filsafat. Orang awam biasanya memahami filsafat seperti ini. Filsafat dianggap sebagai sikap atau kepercayaan yang ia miliki.

2.      Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Pengertian filsafat ini merefleksikan bentuk atau tugas dari Filsafat Kritik, khususnya dalam mengkritisi keyakinan-keyakinan dalam kehidupan kita sehari-hari.

3.      Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Inilah yang menjadi tugas dari Filsafat Spekulatif dalam usahanya mentransendensikan pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam visi atau gambaran yang komprehensif.

4.      Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan konsep. Pengertian ini termasuk dalam kategori kerja Filsafat Kritik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa filsafat mempunyai tugas menganalisis konsep-konsep seperti substansi, gerak, waktu, dan sebagainya.

5.      Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Pengertian ini pada prinsipnya berada dalam pemikiran para filosuf dalam rangka menjawab berbagai problematika kehidupan dan tentunya terus berlangsung tanpa mengenal titik lelah.[5]

2. Cabang-cabang Filsafat
a. Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat diambil kesimpulan yang benar.[6] Atau bisa dikatakan juga bahwa logika  adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan untuk menguatkan premis-premis atau sebab-sebab mengenai konklusi dimana aturan-aturan itu dapat kita pakai untuk membedakan argumen yang baik dari argumen yang tidak baik.[7]
Logika dibagi dalam dua cabang utama, logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premise tertentu atau lebih. Sedang logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari susunan proposisi-proposisi melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Logika ini mencoba untuk bergerak dari suatu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian, atau bergerak dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut.[8]
Dalam logika, pertanyaan-pertanyaan fundamental yang hendak dijawab adalah: Apakah aturan-aturan bagi penyimpulan yang sah ? Apakah ukuran-ukurannya bagi hipotesa yang baik ? Apakah corak-corak penalaran yang logis itu ? Apakah yang menyebabkan tersusunnya sebuah definisi yang baik ?, dan sebagainya.

b. Ontologi
Ontologi atau sering juga disebut metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate experience).[9] Bagi Aristoteles istilah metafisika berarti filsafat pertama (first philosophy). Istilah “pertama” tidak berarti bahwa bagian filsafat ini harus ditempatkan di depan, tetapi menunjukkan kepada kedudukan atau pentingnya. Filsafat pertama menyelidiki pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan manusia, yang mendasari segala macam pengetahuan dan segala usaha filsafat lainnya.[10]
Karena ontologi itu berbicara tentang segala hal yang ada, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan dibongkarnya menjadi tidak terbatas, misalnya, apakah hakikat ruang, waktu, gerak, materi, dan perubahan itu ? Apakah yang merupakan asal mula jagad raya ini ? Apakah jiwa dan badan itu ? dan lain sebagainya.

c. Epistemologi
Yaitu cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar adalah: Apakah mengetahui itu ? Apakah yang merupakan asal mula  pengetahuan kita ? Bagaimanakah cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan ? Bagaimanakah cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat ? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu ? Corak-corak pengetahuan apakah yang ada ? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan ? Apakah kebenaran dan kesesatan itu ? Apakah kesalahan itu ?.[11]

d. Etika
Kata etika digunakan dalam tiga hal yang berbeda tetapi memiliki hubungan antara yang satu dengan lainnya. Pertama, etika berarti suatu pola umum atau way of life seperti etika Budhist atau etika Kristen. Kedua, etika berarti seperangkat aturan-aturan tingkah laku atau moral code, seperti profesi. Ketiga, etika berarti penyelidikan mengenai way of life atau aliran-aliran tingkah laku. Dalam pengertian yang terakhir inilah etika merupakan cabang filsafat yang biasa disebut sebagai meta-etika.[12]
Sebagai salah satu wilayah kajian filsafat, etika yang juga dipadankan dengan filsafat moral, lebih menekankan pada upaya pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, problem moral dan pertimbangan moral.[13] Dengan demikian, etika sebagai salah satu domain kajian filsafat tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan tentang baik  dan buruk atau berkaitan dengan sisi normatif suatu tingkah laku saja, akan tetapi etika juga mencakup analisis-konseptual mengenai hubungan yang dinamis antara manusia sebagai subyek yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri, dengan dorongan dan motivasi dasar tingkah lakunya, maupun dengan cita-cita dan tujuan hidupnya serta perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal etika ini, pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya adalah: Apakah yang menyebabkan suatu perbuatan yang baik itu adalah baik ? Bagaimana cara kita melakukan pilihan di antara hal-hal yang baik ? Apakah yang dimaksud dengan kebaikan, keadilan, kejujuran, dan kebahagiaan ?, dal lain sebagainya.

e. Estetika
Estetika merupakan cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan para filosuf adalah: Apakah keindahan itu ? Apakah hubungan antara yang indah degan yang benar (epistemologi) dan yang baik (etika)? Apakah ada ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu karya seni dalam arti yang obyektif ? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita ? Apakah seni itu sendiri ? Apakah seni itu hanya sekedar reproduksi alam, kodrat belaka, ataukah suatu ungkapan perasaan seseorang, ataukah suatu penglihatan ke dalam kenyataan terdalam ?.[14]
Masing-masing dari cabang filsafat ini pada dasarnya tidak bisa dipisahkan secara tegas. Pemilahan itu hanya sekedar pemetaan wilayah kajian, yang pada intinya apapun persoalan yang ada dalam kehidupan ini saling terkait secara ketat dalam lingkaran cabang-cabang filsafat ini. Sebagai contoh misalnya, kita mengajukan persoalan yang bersifat kesusilaan sebagai berikut: Apakah manusia bertanggungjawab atas perbuatannya ?. Dengan segera muncul dihadapan kita sejumlah pertanyaan yang harus dijelaskan terlebih dahulu, bahkan sebelum pertanyaan itu diberi jawaban yang bersifat sementara. Apakah manusia itu ? Ini merupakan pertanyaan antropologi kefilsafatan. Apakah perbuatan-perbuatannya itu ? Ini menyangkut pertanyaan tentang sebab-akibat, dan karenanya merupakan pertanyaan tentang hakikat kenyataan. Bagaimanakah caranya untuk dapat menentukan hal-hal yang merupakan perbuatannya ? Pertanyaan ini berkaitan dengan metode. Dan demikianlah seterusnya. Dari adanya saling keterhubungan ini, masalah yang memerlukan jawaban secara filosofis tidak serta merta harus dijawab “ya” atau “tidak” dengan tegas. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan filosofis itu biasanya memerlukan jawaban  “ya” atau “tidak” dengan pertimbangan jika, tatapi, barangkali, atau sebaiknya.[15]

B. FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merupakan upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana (presupposition) dan postulat mengenai ilmu. Filsafat ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu.[16]
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu atau pengetahuan ilmiah dalam bahasa Inggris science, dalam bahasa Yunani episteme. Filsafat ilmu menurut Mohar seperti yang dikutip oleh Andi Hakim Nasoetion (1999: 27) ialah suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar. Sasaran filsafat ilmu adalah mengadakan penataan dan pengetahuan atas dasar asas-asas yang dapat menerangkan terjadinya ilmu pengetahuan.[17]
Filsafat ilmu melakukan analisis terhadap ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu merupakan penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience (Adi-ilmu), dan science of science (ilmu tentang ilmu).
Namun sebenarnya berbicara mengenai filsafat ilmu sulit untuk memberikan suatu batasan yang positif. Banyak pendapat yang memiliki makna serta penekanan yang berbeda tentang filsafat ilmu. Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, dkk. (1988) untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu sangat bermanfaat untuk menyimak empat titik pandang di dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut.
1.             Pandangan yang menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world-views yang didasarkan atas teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, merupakan tugas dari filsuf ilmu untuk mengelaborasikan implikasi yang lebih luas dari ilmu.
2.             Pandangan yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presuppositions dan predispositions dari para ilmuan. Filsuf ilmu mungkin mengemukakan bahwa para ilmuan menduga bahwa alam tidak berubah-ubah, dan terdapat suatu keteraturan di alam sehingga gejala alam yang tidak begitu kompleks cukup didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin tidak menutupi keinginan deterministik para ilmuan lebih dari hukum statistik, atau pandangan mekanistik lebih dari penjelasan teleologis. Pandangan ini cenderung mengasimilasikan filsafat ilmu dengan sosiologi.
3.             Pandangan yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu disiplin yang di dalamnya konsep dan teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan. Hal ini berarti memberikan kejelasan tentang makna dari berbagai konsep seperti partikel, gelombang, potensial, dan kompleks di dalam pemanfaatan ilmiahnya.
4.             Pandangan yang menyebutkan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua (scond-order-criteriology). Filsuf ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan berikut. a) Karaktristik-karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain? b) Prosedur yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuan dalam menyelidiki alam? c) Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmaih agar menjadi benar? d) Status kognitif yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum ilmiah? Berdasarkan pertanyaan itu, terdapat perbedaan yang dapat dirumuskan antara doing science dan thinking tentang bagaimana ilmu harus dilakukan.[18]
Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik yang lain, seperti filsafat pengetahuan (hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan) dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggung jawab).[19]
Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena apabila para penyelenggara berbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang berjenis khusus dari masing-masing ilmu itu sendiri, maka orang pun dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut. Dengan mengalihkan perhatian dari obyek-obyek yang sebenarnya dari penyelidikan ilmiah kepada proses penyelidikannya sendiri, maka muncullah suatu matra baru. Segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan menjadi tampak. Berangkat dari sini, menjadi jelas pula saling hubungan antara obyek-obyek dan metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah. Dan memang filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan (secondary reflexion).[20]
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.              Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah, seperti:
1.      Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah.
2.      Tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu.
3.      Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu dan sebagainya.
b.             Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah. (Beerling, 1988)
Untuk mendapat gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu dapatlah kiranya dirangkum tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu. Ketiganya itu adalah sebagai berikut.
1.             Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional, juga untuk membahas studi bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, geologi, dan sebagainya. Dalam hubungan ini yang terutama sekali ditelaah adalah ihwal penalaran dan teorinya.
2.             Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir dasar-dasar keempirisan, kerasionalan, dan kepragmatisan. Aspek filsafat ini erat hubungannya dengan hal ihwal yang logis dan epistemologis. Jadi, peran filsafat ilmu di sini berganda. Pada sisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisis kritis terhadapan anggapan dasar, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang, dan hukum. Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencakup studi mengenai keyakinan tertentu, seperti keyakinan mengenai dunia ‘sana’, keyakinan mengenai keserupaan di dalam alam semesta, dan keyakinan mengenai kenalaran proses-proses alami.
3.             Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu.[21]

Tempat kedudukan filsafat ilmu di dalam lingkungan filsafat sebagai keseluruhan bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Being (ada)
Knowing (tahu)
Axiologi (nilai)
Ontologi
Epistemologi
Etika
Metafisika
Logika dan metodologi
Estetika

Filsafat Ilmu


Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat ilmu sebagai berikut:
1.             Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat-syarat pengetahuan manusia dan bentuk-bentuk pengetahuan manusia.
2.             Menyangkut cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan susunan logis dan metodologis serta tata urutan berbagai langkah dan unsur yang terdapat dalam kegiatan ilmiah pada umumnya.
Baik bidang pertama dan kedua di atas dibahas dalam filsafat ilmu umum. Adapun dalam filsafat ilmu khusus membicarakan kategori serta metode yang digunakan dalam ilmu atau dalam kelompok ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu teknik, dan sebagainya.[22]
Di samping itu, dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus tentang istilah tersebut.
Para ahli telah banyak mengemukakan definisi filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna filsafat ilmu, antara lain:
1.        The philosophy of science is a part of philosophy which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience (Peter Caws).
2.        The philosophy of science attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry-observational procedures, patterns of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presupposition, and so on, and then to evaluate the grounds of their validity from  the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics (Steven R. Toulmin).
3.        Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole (L. White Beck).
4.        Philosophy of science...that philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presupposition, and its place in the general scheme of intelectual discipline (A.C. Benyamin).
5.        Philosophy of science...the study of the inner logic of scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael V. Berry).
Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa ahli tentang makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia,  Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika.
White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah kajian atas metode ilmiah juga dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah  serta hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu di samping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of  science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .
Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted).
Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu,  apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :

FILSAFAT ILMU
 

ILMU
 

FILSAFAT
 
Menjawab





 
Bertanya
Gambar 4.1. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu. Oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.[23]
Untuk melihat urgensinya kajian filsafat bagi umat Islam baik hari ini maupun masa depan, maka kita bisa menengok himbauan ilmuan besar Muslim Pakistan, Fazlur Rahman:
“Philosophy is however a perennial intellectual need and has to be allowed to flourish both for is own sake and for the sake of other disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical spirit and generates new ideas that become important intellectual tools for other sciences not least for religion and theology. Therefore a people that deprives it self of philosophy necessarily expose it self to starvation in terms of fresh ideas-in fact it commits intellectual suicide”.[24]
Terjemahan bebasnya ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
“Bagaimanapun juga filsafat adalah alat intelektual yang senantiasa diperlukan dan karena itulah filsafat harus berkembang secara alamiah baik untuk kepentingan perkembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disipilin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran untuk bersikap kritis-analistis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan lesu darah, dalam arti kekurangan ide-ide segar , dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh diri intelektual”.[25]
C.  MANFAAT FILSAFAT ILMU
       Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.[26]
       Berfilsafat itu penting, sebab dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar dalam menghadapi berbagai gejala peristiwa yang timbul dalam alam dan masyarakat. Kesadaran itu akan membuat seseorang tidak mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh timbulnya gejala-gejala, peristiwa, dan masalah yang dihadapi.
       Untuk dapat berfilsafat, manusia harus belajar filsafat dengan cara yang benar, yaitu orang harus mengetahui dan memahami ajarannya secara ilmu, artinya mempelajari aliran-aliran filsafat, kemudian memadukan pengertian itu dengan praktek. Selanjutnya mengambil pengalaman dari praktek, dan kemudian menyimpulkan praktek secara ilmu.
       Berfilsafat berarti berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk menjelaskan secara rasional gejala-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap dan dihadapi. Berfilsafat tidak bersikap dan bertindak secara tradisi, kebiasaan, adat-istiadat, dan naluri, tetapi bersikap dan bertindak kritis, mencari sebab, mencari isi, dan mencari hakikat  gejala-gejala alam dan sosial. Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja, tetapi mengubah nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan.[27]
       Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu secara umum mengandung manfaat sebagai berikut.
1.         Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik, yakni menganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
2.         Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuan merupakan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya.
3.         Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.

       Implikasi mempelajari filsafat ilmu adalah sebagai berikut:
1.         Bagi seseorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya para ilmuan memiliki landasan berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuan sosial perlu mempelajari ilmu-ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula seorang ahli ilmu kealaman perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian antara ilmu yang satu dengan lainnya saling menyapa, bahkan dimungkinkan terjalinnya kerja sama yang harmonis untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
2.         Menyadarkan seorang ilmuan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan.[28]
       Dengan belajar filsafat ilmu, kita akan mengetahui pengertiannya, obyek-obyeknya, dan seluk beluk filsafat ilmu itu sendiri, memberikan pengetahun tentang sumber-sumber pengetahuan dan kebenarannya, menambah ketajaman berfikir dalam memahami masalah dan senantiasa dikaji secara rasional, sistematis dan logis, melatih berfikir secara mendalam, menyeluruh dan mendasar (radikal), mengasah otak melalui kontemplasi pemikiran terhadap yang rasional dan metafisikal.[29]
Secara umum mengkaji filsafat ilmu akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.         Dengan belajar filsafat ilmu, kita akan mengetahui pengertiannya, obyek-obyeknya, dan seluk-beluk filsafat ilmu itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa orang yang tidak pernah belajar filsafat ilmu, tidak akan mengetahui seluk-beluknya.
2.         Memberikan pengetahuan tentang sumber-sumber pengetahuan dan kebenarannya.
3.         Menambah ketajaman berfikir dalam memahami masalah senantiasa dikaji secara rasional, sistematis dan logis.
4.         Mengarahkan manusia untuk mengakui secara arif bahwa ilmu pengetahuan itu kebenarannya relatif, sehingga setiap pemikiran memiliki nilai kebenarannya masing-masing.
5.         Melatih berpikir mendalam dan radikal.
6.         Dapat memahami filsafat dan mengantarkan orang yang belajar filsafat untuk menjadi “filsuf”.
7.         Mengasah otak melalui kontemplasi pemikiran terhadap yang rasional dan metafisikal.[30]


DAFTAR PUSTAKA
C.D. Broad, The Main Tasks of  Philosophy, dalam Titus, Hepp, dan Smith, The Range of Philosophy, U.S.A: Litton Educational Publishing, Inc., 1975.
Robert N. Beck, Handbook In Social Philosophy, New York : Macmillan Publishing Co., Inc.
Titus, Smith, dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan Publishing Co. Inc, and The Free Press, 1967.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.
Anton Bakker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada Dan Dasar-dasar Kenyataan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.
William Frankena, Ethics, New Jersey: Prentice Hall, 1973.
Sembodo Ardi Widodo, Handout Filsafat Ilmu, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013.
Aceng Rachmat  (Ed.)., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1990.
Uhar Suharsaputra, Filsafat Ilmu Jilid I, Universitas Kuningan, 2004.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012.
Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu Kajian Tentang Pengetahuan Yang Disusun Secara Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Nusantara Consulting, 2010.
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu :Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.







[1] C. D. Broad, The Main Tasks of  Philosophy, dalam Titus, Hepp, dan Smith, The Range of Philosophy, (U.S.A: Litton Educational Publishing, Inc., 1975), p. 8.
[2] Ibid., p. 9.
[3] Robert N. Beck, Handbook In Social Philosophy, (New York : Macmillan Publishing Co., Inc,), p. 2.
[4] Ibid.
[5] Keterangan lebih lanjut bisa dibaca, Titus, Smith, dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), p. 11-14.
[6] Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan Publishing Co. Inc, and The Free Press, 1967), p. 155.
[7] Titus, Smith, dan Nolan, Persoalan…, p. 18.
[8] Lihat, Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), p. 72.
[9] Titus, Smith, dan Nolan, Persoalan…, p. 20.
[10] Anton Bakker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada Dan Dasar-dasar Kenyataan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), p. 14.
[11] Louis O, Kattsoff, Pengantar Filsafat, p. 76.
[12] Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia…, p. 81-82.
[13] William Frankena, Ethics, (New Jersey: Prentice Hall, 1973), p. 5-6.
[14] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, p. 81
[15] Ibid., p. 83.
[16] Sembodo Ardi Widodo, Handout Filsafat Ilmu, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013.
[17]Aceng Rachmat, et al., Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 109
[18] Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 45-46
[19] Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Alih Bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. xii
[20]Ibid., hlm. 1
[21] Lihat, Surajiyo, Filsafat Ilmu…,hlm. 46-47
[22]Ibid., hlm. 47
[23] Uhar Suharsaputra, Filsafat Ilmu Jilid I, (Universitas Kuningan, 2004), hlm. 92-95
[24] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 157-158
[25] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 89
[26]Surajiyo, Filsafat Ilmu …, hlm. 51
[27] Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu Kajian Tentang Pengetahuan Yang Disusun Secara Sistematis dan Sistemik Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Nusantara Consulting, 2010), hlm. 23-24
[28] Surajiyo, Filsafat Ilmu …, hlm. 51-52
[29] Sembodo Ardi Widodo, Handout …, hlm. 2.
[30] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu :Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm 42-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar